Timika, APN – Jumlah mahasiswa Papua mengalami penurunan akibat adanya pandemi yang terjadi berdasarkan catatan dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi
tercatat sebanyak 81.355 Mahasiswa atau memasuki usia perguruan tinggi seluruh Papua tetapi tidak semua menikmati pendidikan tersebut.
Hal ini disampaikan oleh Plt. Kepala LLDikti Wilayah XIV Papua dan Papua Barat, Dr. Suriel S Mofu saat menyerahkan SK LLDikti Kemendikbud dan Riset terkait pendirian Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Mimika Kepada Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Mimika, Maria Kotorok yang berlangsung di Kampus (STIH) Mimika Jalan Pemuda No 129 Kelurahan Wonosari Jaya Distrik Wania Kabupaten Mimika, Kamis (27/01/2022)
Suriel menjelaskan, ketika pandemi covid 19 terjadi mahasiswa atau anak usia perguruan tinggi dari data 81.355 hanya 7.563 mahasiswa atau hanya 9,3 persen yang menempuh pendidikan perguruan tinggi, sisanya sebanyak 90,7 persen atau 73.792 mahasiswa yang tidak berkuliah.
“Setelah saya cek lagi ternyata sebelum pandemi covid 19 terjadi, jumlah mahasiswa kita 60 ribu mahasiswa yang kuliah hanya 23 ribu mahasiswa atau 38 persen, sementara yang tidak kuliah 37 ribu. Dari 37 ribu itu sama dengan 62 persen tidak kuliah ketika pandemi terjadi,” ungkapnya.
Suriel melanjutkan di Papua dan Papua Barat tercatat ada sebanyak 75 perguruan tinggi, namun belum mampu menyerap lulusan SMA di seluruh tanah Papua, pasalnya, angka partisipasi dasar perguruan negeri di Papua masih sangat rendah yang tercatat baru 11 persen.
“Jadi yang kuliah itu baru sekitar 45 ribuan sementara 455 ribu belum kuliah. 89 persen usia pendidikan Papua dan Papua Barat belum menikmati akses pendidikan tinggi, jadi baru 11 persen. Setengah saja belum dan Mimika ikut menyumbang 89 persen yang belum menikmati pendidikan itu,” tegasnya.
Suriel juga menuturkan, persoalan yang dihadapi adalah faktor ekonomi terutama biaya transportasi yang cukup tinggi untuk bisa menempuh pendidikan perguruan tinggi.
“Tidak mungkin anak-anak di Mimika semua kuliah di Uncen dengan naik pesawat dari sini ke sana hanya untuk berkuliah di perguruan negeri. Tetapi fakta menunjukkan bahwa perguruan tinggi negeri hanya ada di Uncen Jayapura, Unipa Manokwari dan Merauke, jadi kalau mau berharap kuliah di perguruan tinggi Jayapura, Manokwari, Merauke itu apakah punya uang cukup untuk naik pesawat. Dan pemerintah memiliki keterbatasan di dalam menyediakan pendidikan tinggi negeri bagi masyarakat,” paparnya.
Suriel mengklaim setelah melakukan pengecekan data tercatat 92 persen mahasiswa uanh berkuliah di perguruan tinggi swasta berpenghasilan berada dibawah 2 juta perbulannya.
“dari 92 persen itu 54 persen tidak berpenghasilan, Kenapa saya bilang 2 juta karena kalau bapaknya 2 juta dan mama 2 juta total 4 juta jadi kalau di bawah 4 juta peraturannya wajib mendapat beasiswa dari pemerintah RI,” ungakpnya.
Faktor ekonomi tersebut kata Suriel akan menjadi tantangan bagi perguruan-perguruan tinggi seluruh tanah Papua dan tantangan juga bagi pemerintahan.
“Tahukah, pemerintahan kita ketika 90,7 persen tidak kuliah, tahukah pemerintah kita ketika penghasilan orang tua OAP dari anak-anak yang kuliah tidak bisa membiayai pendidikan tinggi dan pemerintah harus mengintervensi kelemahan pembiayaan masyarakat terhadap pendidikan tinggi dengan menyediakan beasiswa kepada mahasiswa, menyediakan dukungan-dukungan bagi Perguruan-perguruan tinggi dari sisi SDM, pengembangan masyarakat supaya perguruan tinggi bisa eksis menyelenggarakan perguruan tinggi,” tegasnya.