Timika, Antarpapua.com – Kemiskinan menjadi atensi paling utama pada suatu daerah. Pasalnya, kemiskinan sangat berpengaruh pada meningkatnya angka pengangguran serta berdampak pada pendidikan, kesehatan dan kesenjangan sosial lainnya.
Mengenai angka kemiskinan, berdasarkan data yang dirangkum media ini dari dua instansi berbeda, yakni Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Mimika dan Dinas Sosial Kabupaten Mimika, sama-sama mencatatkan jumlah yang berbeda, atau terjadi perbandingan jumlah angka kemiskinan di Mimika.
BPS mencatat, angka kemiskinan pada tahun 2022 mengalami peningkatan, yakni 14,28 persen atau sekitar 31.580 jumlah keluarga miskin. Sedangkan berdasarkan data Dinas Sosial Kabupaten Mimika, per Juli 2023 sebanyak 24.571 keluarga miskin.
BPS juga mencatat Mimika sebagai daerah dengan jumlah kemiskinan tertinggi nomor 2 se-Tanah Papua pada tahun 2022. Dari BPS, angka kemiskinan di Mimika naik, karena adanya inflasi di Kabupaten Mimika yang kerap meroket pasca pandemi Covid-19.
Kemudian, Kabid Pemberdayaan Sosial, Dinas Sosial Kabupaten Mimika, Ir Yani Fithriyani Effendi, MM menjelaskan, Dinas Sosial Kabupaten Mimika sendiri dalam menghitung garis kemiskinan, mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial.
Untuk menekan hal tersebut, kata Yani pemerintah sudah menyetujui draf peraturan daerah (Perda) tentang Kemiskinan di Kabupaten Mimika.
“Tahun ini Insya Allah baru draf Perda melalui perubahan memang sudah disetujui. Jadi baru draf Perda, yang tahun lalu mungkin ada yang lebih penting, makanya baru tahun ini diakomodir oleh Perda,” kata Yani.
Yani menjelaskan, draf Perda ini mestinya sudah disetujui pada tahun 2022 lalu. Namun, karena ada beberapa faktor, menyebabkan draf tersebut baru dapat disetujui pada tahun ini.
Ia juga mengatakan, dengan adanya draf Perda ini, ke depan penanganan-penanganan tentang sosial tidak akan melenceng dari poin-poin yang tercantum dalam draf Perda itu.
Sementara itu, meningkatnya angka kemiskinan berdasarkan angka dari BPS ini, juga mendapat tanggapan dari akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jambatan Bulan (STIE JB) Timika, yakni Ketua Prodi Ekonomi Pembangunan, Abu Bakar.
Menurut Abu, angka kemiskinan yang meroket di tahun 2022 ini, merupakan imbas dari pandemi Covid-19. Kata Abu, dibanding dengan daerah lain, dimana tingkat pendapatan masyarakat pasca Covid-19 sudah berangsur pulih. Namun, kondisi ini justru berbanding terbalik di Mimika.
Bahkan, di Mimika dampak dari pandemi Covid-19 masih terasa sampai saat ini. Kemudian dari sisi pemulihan ekonomi terpantau lambat, dan tidak ada pergerakan peningkatan yang signifikan.
“Jadi dia kalau kita bilang untuk perekonomian Kabupaten Mimika dia terlambat mendapatkan imbas dari Covid-19. Kalau kita melihat dari kaca mata teori ekonomi untuk kondisi hari ini tuh, sebenarnya dia belum kembali saja ke titik keseimbangannya,” kata Abu saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa sore.
Abu melanjutkan, dampak dari Covid-19 ini diprediksi akan berlangsung sampai 2025 mendatang, dengan karakteristik peningkatan ekonomi yang melambat.
Namun, kata Abu jika dilihat-lihat, pemerintah sudah mulai melakukan intervensi dengan membahas sejumlah program untuk pemulihan ekonomi masyarakat, bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mimika beberapa waktu lalu.
Kata dia, dari pembahasan itu, program-program pemerintah yang bersifat padat karya, melibatkan banyak tenaga kerja akan mulai digalakkan pada 2024, untuk menurunkan angka kemiskinan di Mimika.
“Kalau dilihat dari RAPBD yang mereka mulai rancang dari tahun lalu sampai tahun ini program-program itu mulai bergulir, cuman memang dari sisi pemerintah sendiri penyerapan anggarannya yang masih rendah sehingga program-program yang pro rakyat untuk menggalakkan kegiatan ekonomi di masyarakat belum,” kata Abu.
“Kalau seandainya semua program itu mulai dijalankan, kemungkinan pemulihan ekonomi akan lebih cepat. Tapi kalau pemerintah sendiri tidak menggenjot anggarannya itu akan lambat,” imbuhnya melanjutkan.
Abu menyatakan, dalam kondisi seperti ini seharusnya pemerintah semakin besar, dan jangan ditahan sehingga aktivitas ekonomi di masyarakat menjadi lancar.
Ia juga menyoroti program pasar murah yang diusung pemerintah untuk menekan inflasi. Program ini menurut Abu tidak efektif, apabila untuk memutus mata rantai kemiskinan.
Sebab, pangan murah dinilai hanya bersifat jangka pendek, dan hanya untuk memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya sesaat.
“Kalau pemerintah dia benar-benar mau turunkan angka kemiskinan, anggaran yang sudah tersedia harus cepat dia salurkan ke masyarakat dalam bentuk program dan kegiatan. Sekarang sudah bulan Agustus, masih 30-an persen penyerapan anggaran, sementara Oktober sudah harus ajukan lagi ini perubahan. Bagaimana mau ajukan perubahan sementara yang anggaran pagunya saja belum diserap baik,” ungkapnya.
Kemudian, untuk masyarakat-masyarakat di desa, kata Abu ada program dari dana desa yang bisa dimanfaatkan, untuk membantu masyarakat yang terkena dampak di desa.
Dari kaca mata Abu sebagai akademisi, pemerintah desa masih banyak memprioritaskan program pembangunan infrastruktur, dan program-program yang bersifat pemberdayaan masyarakat tidak dijalankan.
“Kalau infrastuktur kan selesai ya selesai, tapi kalau program pemberdayaan masyarakat kan jangka panjang, itu juga tidak dijalankan. Seharusnya evaluasi pemerintah ke arah situ, kalau dia benar-benar mau turunkan angka kemiskinan,” tutupnya.