Dua Tahun Kepergian Tom Beanal, Sang Tokoh Adat dan Komisaris Freeport: Kenangan, Harapan, dan Suara yang Belum Didengar

Antar Papua
Istri Mendiang Tom Beanal.

Timika, Antarpapua.com – Dua tahun telah berlalu sejak kepergian tokoh besar Papua, Tom Beanal, yang wafat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, pada 29 Mei 2023.

Sosok yang dikenal sebagai pejuang masyarakat adat, pemimpin gereja, dan anggota Komisaris PT. Freeport Indonesia ini meninggalkan warisan besar bagi tanah Amungsa. Namun, dua tahun setelah kepergiannya, suara pilu disampaikan oleh sang istri, yang merasa bahwa perjuangan dan pengabdian mendiang belum mendapatkan penghargaan yang sepadan.

Istri almarhum mengisahkan detik-detik terakhir sebelum sang suami menghembuskan napas terakhirnya. Setelah sempat menjalani perawatan intensif dan dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar untuk terapi lanjutan, ia mengenang percakapan terakhirnya bersama Tom Beanal.

“Bapak ini sudah kelihatan membaik, tapi tetap dipindah-pindah. Saya sempat protes, lalu bapak hanya bilang, ‘Mama diam saja, dokter yang atur,’” tuturnya sambil menahan haru kepada Antarpapua.com.

Sejak kepergian almarhum, ia merasa tidak ada perhatian serius dari pihak PT. Freeport Indonesia maupun pemerintah terhadap keluarga yang ditinggalkan. Padahal, semasa hidup, Tom Beanal merupakan ujung tombak perjuangan masyarakat adat, pelopor pendirian Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA), serta pendiri LEMASKO, LPMAK yang kini telah berganti nama menjadi YPMAK, WARSING, dan Forum MoU yang menjadi pilar-pilar penting perjuangan masyarakat Amungme dan Kamoro.

Jenazah almarhum dimakamkan di area kantor LEMASA, Mile 32. Sebuah lokasi simbolis perjuangan di mana almarhum membangun dua honai, Rumah Adat Laki-Laki yang menjadi tempat berkumpul dan kantor LEMASA.

Baca Juga |  Isak Tangis Keluarga Antar Almarhum Tom Beanal ke Liang Kubur

“Saya pikir lebih baik makam bapak di sana, di kebunnya sendiri, agar orang tahu. Orang yang lewat bisa lihat bahwa ini tempat bersejarah, bahwa bapak pernah ada di sini,” jelas istri almarhum.

Namun, kondisi makam saat ini memprihatinkan. Pagar hanya dibuat dari seng bekas oleh anak bungsu mereka yang berjualan sayur. Penerangan dan kebutuhan dasar masih ditanggung sendiri, termasuk permintaan pembangunan portikem atau tempat berteduh yang hingga kini tak mendapat tanggapan dari Freeport.

“Saya sampai tidur di mobil setiap kali berkunjung ke makam. Terpal biru sudah beberapa kali saya ganti karena hancur. Saya pernah juga tidur di tenda orang dan masak di luar. Saya minta, tapi tidak pernah dikabulkan,” keluhnya.

Ia merasa kecewa karena tidak ada perhatian atau kunjungan dari PT. Freeport maupun pemerintah, seolah sosok yang dulu dielu-elukan kini dilupakan.

“Waktu hidup mereka semua datang berpesta bersama bapak, tapi saat beliau wafat, semuanya seolah lenyap. Seperti bunga layu, tidak ada artinya,” ujarnya.

“Bahkan untuk membuat barak dan pasang air di lokasi, saya kerjakan sendiri. Saya dan anak-anak juga urunan untuk beli kasur agar bisa tidur layak meskipun hanya satu kamar kecil,” tambahnya.

Dalam momen duka dan penghormatan terakhir di Keuskupan Timika, Johannes Rettob, yang saat itu hadir sebagai Wakil Bupati, menyampaikan pesan dan kesan mendalam kepada keluarga almarhum. Ia menyatakan niat untuk memberikan penghargaan terhadap perjuangan Tom Beanal dengan:

  1. Menamai jalan raya dari SP 2 hingga Mile 32 sebagai Jalan Tom Beanal, karena hingga kini ruas jalan tersebut belum memiliki nama resmi.
  2. Membangun Tugu Tom Beanal sebagai simbol penghormatan dan pengingat akan jasa-jasa almarhum.
Baca Juga |  Sebagai Tokoh Besar, Perintis dan Penasehat

Namun, hingga saat ini, belum ada komunikasi lanjutan dari Johannes Rettob maupun pihak pemerintah terkait realisasi dua rencana tersebut.

Hal ini harus di bicarakan, kami keluarga sampai saat ini masih menunggu apa lagi hal ini disampaikan langsung di hadapan keluarga pada saat melayat di Keuskupan.

Dalam kesaksiannya, istri almarhum juga menegaskan pentingnya LPMAK (sekarang YPMAK) yang disebut oleh almarhum sebagai “nafas masyarakat adat”.

“Kita tidak bisa bilang YPMAK itu Yayasan Freeport. Itu gudang kita. Bapak tidak bodoh, dia tahu masa depan anak-anak kita. Jadi Freeport dan pemerintah harus siapkan lapangan kerja, jangan biarkan anak-anak kita jadi pencuri karena lapar,” katanya.

Kesaksian dan harapan dari istri mendiang Tom Beanal bukan hanya refleksi duka pribadi, melainkan seruan keadilan dan pengakuan atas jasa seorang tokoh yang hidup dan mati untuk tanahnya, untuk masyarakat adat, dan untuk masa depan Papua. Dua tahun telah berlalu, dan suara yang belum didengar itu kini menggema lagi: agar warisan, perjuangan, dan nama besar Tom Beanal tidak hanya dikenang, tetapi benar-benar dihormati dengan tindakan nyata. (Redaksi)

Cek juga berita-berita Antarpapua.com di Google News