Timika, Antarpapua.com – Forum Peduli Mimika Wee (FPMW) mempertegas hak ulayat atau tapal batasnya, di tengah beredarnya informas tentang adanya oknum yang mengklaim tanah adat tertentu di sebelah kiri jalan menuju SP 5, sebagai hak ulayat masyarakat adat Suku Amungme.
Dalam sebuah konferensi pers yang digelar oleh Forum Peduli Mimika Wee yang terdiri dari Muh. Nurman S. Karupukaro, Refael Taurekeau, Fredi Kemaku dan Ronny Nakiaya bersama sejumlah tokoh Mimika Wee lainnya di Hotel Grand Tembaga, Minggu (13/8/2023) mempertegas hal tersebut.
Seperti diketahui, Kota Timika didiami oleh dua suku asli yakni Suku Amungme dan Suku Kamoro.
Sebagai pembeda, Amungme merupakan suku yang mendiami wilayah pegunungan sedangkan Kamoro-Mimika Wee, merupakan suku yang mendiami wilayah dataran rendah hingga wilayah pesisir.
Fredi Kemaku, seorang tokoh Mimika Wee menegaskan, Suku Kamoro punya wilayah adat yang terbentang dari Potowayburu hingga Nakai. Untuk batasnya dimulai dari Mile 50 hingga pesisir pantai dan laut.
Kata Fredi, pemetaan ini berdasarkan hasil kajian oleh antropolog asal Belanda, karena adanya jejak yang melekat dengan Suku Kamoro. Fredi juga bilang, Mile 50 menjadi tempat terjadinya sistem barter antara Suku Kamoro dengan beberapa suku dari wilayah pegunungan.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa dapat dipastikan wilayah dataran rendah terutama Kota Timika merupakan wilayah adat Suku Kamoro. Hanya saja, peta administrasi negara yang menyebabkan berbagai persoalan bermunculan dengan adanya batas antar kabupaten, distrik dan kampung alih-alih dijadikan sebagai batas hak ulayat.
Padahal hak Ulayat kata Fredi, amatlah berbeda dengan batas yang dicatut pemerintah. Bahkan, kata Fredi jika tanah itu harus beralih kepemilikan dalam bentuk dan proses apapun, hak ulayat akan tetap melekat dan tidak akan terlepas. Dengan demikian, tanah yang berlokasi di jalan menuju SP 5, setelah Sentra Pendidikan itu masuk ke dalam hak Ulayat masyarakat adat Suku Kamoro.
Kemudian, Forum Peduli Mimika Wee dalam hal ini tidak menyalahkan lembaga adat Suku Amungme. Namun oknum yang dinilai belum memahami, sehingga mengambil tindakan sepihak dengan memasang patok batas hak ulayat yang tidak sesuai tanpa berunding dengan lembaga adat Suku Kamoro sebagai pemilik hak Ulayat. Hal yang sama juga diceritakan oleh Ronny Nakiaya.
“Jadi kalau peta wilayah adat Belanda itu Kabupaten Mimika ini itu masyarakat Kamoro itu masuk dalam wilayah adat Bomberai, nanti batas gunung ke sana itu wilayah adatnya wilayah adat Meepago,” kata Ronny.
Selanjutnya, Refael Taurekeau, tokoh Pemuda Kamoro yang ikut bersuara mengatakan, pada umumnya telah diketahui bersama bahwa menurut undang-undang dasar tahun 1945 sudah tergambar jelas, negara mengakui adanya wilayah adat. Bahkan, ada juga undang-undang terkait masyarakat adat.
Refael menegaskan, ini merupakan langkah awal yang diambil oleh para pemuda guna menyikapi permasalahan itu. Kata dia, apabila tidak ditanggapi maka akan dibawa ke ranah hukum. Forum ini sendiri merupakan inisiatif untuk mempersatukan lembaga adat Suku Kamoro, yang saat ini memiliki beberapa kepengurusan, dan bukan untuk mengambil alih tugas dan fungsi lembaga adat di tengah polemik yang kini sementara berlangsung.
Sementara itu, Muh. Nurman S. Karupukaro yang juga merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mimika mengatakan, menyangkut Peraturan Daerah (Perda) terkait perlindungan hak ulayat tersebut sampai saat ini masih digodok.
Namun, hal ini masih terkendala beberapa hal terkait administrasi kelembagaan yang diakui oleh pemerintah daerah dari lembaga-lembaga adat suku asli di Timika. Ini sebenarnya sudah digodok sejak beberapa tahun lalu.
Menurut Nurman, berbicara tentang adat maka kedua suku ini masing-masing punya pengetahuan tentang tapal batasnya.
Nurman juga bilang, terkait hal ini pihaknya juga bakal bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat, guna mencari data-data terkait peta topografi hak Ulayat tersebut sebagai dasar dan acuan.
Sementara itu, terkait polemik ini, Nurman mengatakan bahwa sikap tegas Forum Peduli Mimika Wee ini juga berlaku untuk semua orang yang hidup di atas tanah Kamoro, bahwa adat sudah berlaku bahkan sejak ribuan tahun yang lalu sehingga tidak boleh dirubah oleh pengakuan siapapun.
Sebagai penutup, Forum Peduli Mimika Wee meminta, agar tidak ada lagi tindakan perampasan serta mencaplok hak ulayat tanah adat Suku Kamoro-Mimika Wee sebagai hak Ulayat milik suku lain.