Freeport Mempercepat Restorasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Mimika

Antar Papua
PT Freeport Indonesia membangun Estuary Structure di muara Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika untuk menangkap sedimentasi dari tailing atau pasir sisa tambang untuk dibentuk menjadi daratan yang ditanami kembali dengan mangrove. (Foto: Istimewa)

Timika, Antarpapua.com – PT Freeport Indonesia (PTFI) bersama Pemerintah Kabupaten Mimika, kalangan akademisi dan masyarakat Kamoro berupaya mempercepat restorasi ekosistem mangrove di muara Sungai Ajkwa, Mimika melalui program “Estuary Structure”. Upaya ini dikupas tuntas dalam talkshow Festival LIKE 2 (Lingkungan, Iklim, Kehutanan, dan Energi Terbarukan)  yang diselenggarakan oleh Kementerian  Lingkungan Hidup  dan  Kehutanan di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Sabtu (10/8/2024).

“Program Estuary Structure merupakan komitmen Freeport Indonesia dalam restorasi lingkungan. Dengan melibatkan masyarakat Kamoro, Pemda Mimika, hingga kalangan Akademisi dari Universitas Papua, Universitas Diponegoro, Institut Pertanian Bogor, Institut Sains dan Teknologi Jakarta, kami berupaya mempercepat restorasi ekosistem mangrove di Muara Sungai Ajkwa,” kata General Superintendent Reklamasi & Project, Environmental Division PT Freeport Indonesia Roberth Sarwom sebagai narasumber.

Roberth mengatakan PTFI membangun Estuary Structure di muara Sungai Ajkwa untuk menangkap sedimentasi dari tailing atau pasir sisa tambang untuk dibentuk menjadi daratan yang ditanami kembali dengan mangrove. PTFI berkomitmen melakukan revegetasi lahan terbentuk seluas 500 hektare per tahun. Hingga saat ini dari tahun 2005 PTFI telah mejalankan revegetasi seluas 953.59 hektare dan akan terus bertambah.

Baca Juga |  Smelter PT Freeport yang Dibangun di Gresik Wajib Rekrut Tenaga Kerja dari Papua

Estuary Structure melibatkan 24 kelompok masyarakat dari Suku Kamoro yang mendiami area dataran rendah Kabupaten Mimika. Pada akhir tahun 2022 hingga 2023 PTFI mempekerjakan 300 karyawan asli Suku Kamoro.

Roberth menjelaskan metode yang digunakan pada Estuary Structure adalah Struktur Geotab dan Struktur Bambu. Struktur Geotab merupakan metode dengan cara memasukan tailing atau sedimen ke dalam wadah berbahan geomembran berukuran besar. Sedimen akan terendap dan tertinggal, sementara air sisa tailing dapat mengalir keluar melalu pori-pori wadah tersebut.

“Geotube kemudian dibentangkan sepanjang garis pantai yg berfungsi untuk menangkap dan menahan sedimen membentuk daratan stabil,” kata Roberth.

Sedangkan Struktur Bambu merupakan metode menangkap dan menahan sedimen menggunakan bambu yang disusun membentuk huruf “E” atau “T” sehingga sering di sebut dengan E-Groin atau T-Groin. Bambu ditanam 200 cm ke dalam tanah dengan formasi berjejer seperti dua lapis deretan pagar.

Baca Juga |  Pemkab Harus Libatkan Masyarakat Adat Dalam Pembahasan Saham 7 Persen

Di antara dua lapis tersebut diisi ranting pohon (debris) guna menahan endapan tailing. Hal ini akan menghasilkan endapan permanen yang akan membentuk daratan stabil.

“Kami berharap Program Estuary Structure ini dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat dan menciptakan domino efek yang positif, di mana restorasi ekosistem mangrove tidak hanya memulihkan fungsi lingkungan tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat,” kata Roberth.

Kementerian LHK menyelenggarakan Festival LIKE 2 pada 8-11 Agustus sebagai rangkaian acara menuju COP 29 UNFCCC (29th Conference of the Parties of the United Nation Framework Convention  on  Climate Change)  yang  akan  digelar  pada  11-22  November  2024  di  Baja, Azerbaijan. PTFI berpartisipasi aktif dalam festival ini melalui booth pameran dengan menghadirkan edukasi tentang Pertambangan Berkelanjutan yang diikuti ratusan pengunjung setiap harinya. (*)

Cek juga berita-berita Antarpapua.com di Google News