Mimika  

Indahnya Toleransi Dalam Bingkai Tri Suci Waisak 2567 TB 2023

Antar Papua
Perayaan Tri Suci Waisak di Cetya Giri Loka, Kampung Naena Muktipura, Sp6, Mimika, Papua Tengah, Minggu (4/6/2023). (Foto: Wahyu/APN).

Timika, APN – Umat Buddha di Kabupaten Mimika merayakan Tri Suci Waisak ke 2567 Tahun Buddhis 2023 di Cetya Giri Loka, Kampung Naena Muktipura, SP6, Mimika, Papua Tengah, Minggu (4/6/2023). Menariknya, bingkai perayaan Hari Raya Waisak ini dihiasi dengan toleransi.

Perayaan ini dihadiri Kepala Kantor Kementerian Agama RI, Kabupaten Mimika, Lukas Yasi, Babinkamtibmas Kampung Naena Muktipura, Kepala Kampung Naena Muktipura, Lalu Supri Rahman dan umat Buddha di Kabupaten Mimika.

Dalam perayaan tersebut, terlihat sejumlah wanita berkerudung menghiasi tenda-tenda, mengurus konsumsi bagi para tamu. Mereka adalah warga SP6 yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Lombok (IKL). 70 persen perayaan ini disukseskan oleh IKL.

Kepala Kementerian Agama Kabupaten Mimika, Lukas Yasi dalam sambutannya menyatakan, perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak, kembali menawarkan kesempatan bagi umat Buddha untuk memahami dan mengaktualisasikan konsep moderasi dalam praktek beragama.

Lanjutnya, moderasi merupakan konsep sentral dalam ajaran Buddha yakni jalan tengah. Kata dia, Buddha mengajarkan agar umatnya menghindari keistimewaan, dan melakukan keseimbangan salam segala hal.

“Moderasi melibatkan penghindaran terhadap kelebihan dan kekurangan, serta mengembangkan sikap tengah dan bijaksana untuk berbagai hal,” terang Lukas.

“Perayaan suci Waisak merupakan momentum bagi umat Buddha, untuk mengaktualisasikan prinsip moderasi berbagai aspek kehidupan, dalam hal ini pada kegiatan-kegiatan keagamaan yang melibatkan majelis atau organisasi keagamaan. Buddha yang berbeda-beda namun memiliki satu prinsip yang sama, yaitu kebersamaan dan kesatuan,” tambahnya.

Kemudian, Kepala Kampung Naena Muktipura, Lalu Supri Rahman mengatakan, di Kampung Naena Muktipura, SP6 terdapat 4 agama, yakni Kristen, Katholik, Buddha dan Islam.

Keempat agama ini menurut Supri, memberikan warna tersendiri bagi kampung Naena Muktipura dengan konsep moderat serta toleran yang sudah terjalin.

“Ini memberikan warna tersendiri bagi kami, karena umat Buddha di sini sangat menyatu kepada kami semua yang ada di sini. Kebetulan Umat Buddha di sini semua masuk dalam organisasi kami yaitu Ikatan Keluarga Lombok. Kebetulan saya juga warga Lombok, jadi semua adalah keluarga saya, jadi semua saya rangkul,” kata Supri.

Sementara itu, Ketua Panitia Perayaan Tri Suci Waisak, Upasaka Pandhita Kanta Dhammo Kartyadi menjelaskan, terkait warna toleransi yang ditampilkan, berkaitan dengan tema yang dikeluarkan tahun ini oleh Sangga Agung Indonesia yaitu Harmonis Masyarakat, Damai Negaranya.

“Itu yang menjadi alasan mengapa kita mengemas Waisak ini menjadi sedemikian rupa. Kemudian dari pra acara sampai puncak acara ini bisa dibilang 70 persen itu disukseskan oleh IKL, sebuah organisasi kemasyarakatan dan juga sosial,” kata Kartyadi.

Kartyadi menyebutkan, untuk dapat memaknai perayaan Tri Suci Waisak, maka harus menatap kembali tiga peristiwa penting dalam Waisak itu sendiri. Yakni Lahirnya Pangeran Siddharta, Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha. Ketika usia Pangeran Siddharta menginjak 35 tahun, dirinya telah mencapai pencerahan sempurna, hingga Buddha Gautama Parinibbana (wafat).

Kata Kartyadi, makna yang dapat dipetik dari peristiwa pertama adalah, seluruh umat Buddha seperti terlahir kembali dengan adanya perayaan Waisak, dengan harapan baru, cita-cita baru, dengan hati dan pikiran yang baru tentunya.

Selanjutnya, dengan peristiwa kedua dimana sang Petapa Gautama mencapai pencerahannya tentu tidak mudah. Maka yang dapat dipetik dari peristiwa kedua adalah harus berusaha melatih diri, berusaha mempraktekkan ajaran Buddha, sehingga Umat Buddha dapat merealisasikan kebebasan seperti halnya Sang Buddha itu sendiri.

“Peristiwa ketiga adalah saat Buddha Parinibbana, menjelang Buddha Parinibbana, ananda adalah seorang bhiksu yang paling dekat dengan sang Buddha sendiri menanyakan kepada sang Buddha; Bhante apakah setelah sang Buddha Parinibbana apakah Bhante akan menunjuk, siapa yang akan menjadi pengganti atau wakil Sang Bhagava setelah Bhagava Parinibbana? Lalu sang Buddha menjawab, jadikanlah Dhamma pelindungmu, jadikanlah Dhamma itu gurumu, jadikanlah Dhamma itu jalan hidupmu, maka kamu akan melihat sang Buddha itu sendiri,” terang Kartyadi.

“Maksudnya adalah sang Buddha tidak menunjukkan siapa-siapa sebagai penggantinya di sini, tetapi melainkan menegaskan kembali supaya umat-umat berpegang kepada dhamma ajaran kebenarannya, karena dengan menjalankan ajaran kebenarannya maka sama halnya dia melihat Sang Buddha itu sendiri,” sambungnya.

Melalui perayaan itu, Kartyadi berharap keharmonisan yang dijadikan tema oleh Sangga Agung Indonesia, maka keharmonisan dalam potret moderat dan toleran dapat tetap terjalin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di Negeri Amungsa Bumi Kamoro.

Cek juga berita-berita Antarpapua.com di Google News

Penulis: WahyuEditor: Sianturi