Timika, APN – Wakil Bupati Mimika, Johannes Rettob menegaskan pesawat serta helikopter yang dibeli oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika tidak ada yang bekas.
Saat ditemui wartawan di kediamannya, Senin (4/4/2022) Wabup Rettob pun membeberkan berkaitan dengan sejarah pembelian pesawat dan heli tersebut mulai dari penggadaan hingga nasib dua aset Pemkab Mimika tersebut saat ini.
Karena saat itu, tahun 2015 Wabup Rettob menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan Mimika yang bertanggung jawab atas pengadaan pesawat dan helicopter Pemkab Mimika.
Rettob mengungkapkan, awalnya Pemkab Mimika menganggarkan Rp 85 Miliar untuk pembelian pesawat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2015. Saat itu Bupati Mimika ingin membeli pesawat untuk mengangkut penumpang.
“Jadi saya sampaikan Rp 85 miliar itu uang kita tidak cukup, jadi waktu itu beliau ingin beli super puma dan itu tidak mungkin karena hargannya Rp 300 miliar, akhirnya beliau bilang au atur saja, dengan begitu akhirnya kita lakukan kajian,” ungkapnya.
Kajian pun dilakukan oleh Pemkab Mimika dan diputuskanlah untuk membeli jenis pesawat Cessna Caravan dan Helikopter jenis Airbus125B3.
“Kita cari pesawat yang cocok di Mimika dengan geografis juga fungsinya, akhirnya kita putuskan untuk membeli satu unit fix wings dan heli, karena populasi pesawat di Indonesia banyak baik heli maupun pesawat, purna jualnya gampang, karekteristik cocok di Papua, pabriknya masih ada, pilotnya gampang, enginer nya gampang, spare part nya juga karena semua ada di Indonesia,” ungkapnya.
“Kemudian untuk heli kita beli yang tidak melebihi sisa anggaran, target kita kurang lebih sekitar Rp 30 an miliar, nah heli apa yang cocok, akhirnya kita pilih jenis Airbus 125B3 versi terbaru saat itu dengan 5 kursi, jadi kalau dibilang bekas tidak mungkin, karena yang dibeli versi terbaru pada saat itu,” imbuhnya.
Rettob menjelaskan, sebelum dibeli, dirinya dan Bupati Omaleng telah melakukan uji terbang.
“Untuk menguji dan memilih hasil kajian-kajian itu saya dengan pak Bupati saat itu uji terbang dari Jalan Thamrin menuju ke Cibubur kemudian balik lagi. Cibubur ini tempatnya airbus, dengan pesawat yang sudah kita mau beli ini, tapi waktu itu punya orang, soalnya kan cuman uji coba saja. Di dalam perjalanan pembelian akhirnya kita beli dua pesawat itu jenis Grand Caravan dan Airbus 125,” tegasnya.
Rettob menjelaskan, proses pembelian pun langsung dilakukan ke masing-masing pabriknya. Untuk pembelian pesawat Cesna, langsung di Wichita, Kansas, Amerika Serikat. Sedangkan helicopter di Airbus Indonesia.
“Kita buat perjanjian, beli pesawat itu gampang, ada uang kita beli. Tapi kalau pemda yang beli harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama karena pesawat ini barang mewah, maka harus memenuhi PPNBM 67, 5 persen dari harga pesawat. Uang kita tidak cukup. Kalau mau bebas pajak harus bekerjasama dengan operator penerbangan untuk bisa masukan pesawat ke Indonesia. Akhirnya kita cari operator penerbangan, waktu itu saya duduk di Halim Perdanakusuma untuk mengemis-mengemis cari orang untuk bisa kerjasama dengan kita,” kenang John.
Rettob menambahkan, jika ingin mengecek apakah pesawat itu baru atau bekas, bisa dilihat keabsahannya dari nomor seri yang tertera. Data tersebut dapat dilihat semua, dibuat dimana, tahun berapa pembuatannya.
“Jadi bukan dicek mesinnya, tidak ada. Di dunia penerbangan itu tidak berbicara rangka, yang kita tahu mesin dan air frame, Jadi kita tahunya itu semua dari nomor seri pesawat, begitu masuk cukai, semua diatur oleh operator biar kita bebas pajak tadi PPNBM, sehingga ada surat keterangan bebas pajak, untuk jadi data masuk ke Indonesia dari Kementerian Perdagangan,” ujarnya.
Rettob menjelaskan, untuk pembelian heli baru, izin yang didapatkan berbeda karena adanya peraturan Kementerian Keuangan yang baru pada saat itu.
“Heli, itu ternyata titik terdekat hanya sampai Pekanbaru, disinilah izin impor diproses. Waktu itu ada persoalan, karena keterlambatan pengurusan dan waktu itu Kemenkeu mengeluarkan aturan dengan impor sementara. Izin impor sementara ini dikeluarkan dan harus diperpanjang setiap tahun kenapa dikeluarkan itu karena ini milik kabupaten, sesudah itu baru masuk di Mimika, berbeda dengan Cesna yang jenisnya izin impor tetap,” paparnya.
Menanggapi soal izin yang harus dari kabupaten atau provinsi kata Wabup itu tidak benar, karena semua proses izin berada ditangan bea cukai yang telah disetujui dan direkomendasikan oleh Kementerian Keuangan.
Wabup Rettob dengan rinci menjelaksan tentang sistem sewa yang dibuat oleh pemda berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
“Sesudah sampai di Indonesia, kita pakai aturan perundangan bagaimana tata cara pengelolaan barang milik daerah dan itu ada, ada beberapa cara, hibah, kerjasama, sewa menyewa, atau tukar guling (bangunan). Kalau untuk dua peswat ini kita gunakan sewa mnyewa, biar mudah diatur kalau krjasama siapa yg mau rawat ini pesawat? Lebih baik kita serahkan, mereka operasikan satu jam untuk psawat caravan 1 jam Rp 10 juta, kemudian heli Rp 12,5 juta untuk pemda, ini harga tinggi tapi saya pasang badan waktu itu, jadi kalau caravan sebulan 80 kali kita dapat Rp 800 juta kalau heli kan dibatasi hanya 50 kali jadi kita dapat kurang lebih Rp 600 juta itu pemasukan PAD bagi Mimika,” jelasnya.
Wabup Rettob juga menyingung nasib pesawat yang kini tak lagi difungsikan karena pada 2021 sesuai dengan perjanjian kontrak kerjasama yang telah berakhir, pemda telah menarik dua pesawat tersebut dari PT Asia One Air.
“Pemda harus memilih operator baru untuk kerjasama mengoperasikan pesawat dan heli ini, jadi memutuskan nanti pakai aturan mana? Impor baru atau tidak? Begitu, supaya registrasi di Indonesia atas nama PT Asian One Air berubah menjadi PT apalagi, itu butuh waktu, bukan ambil taruh dihangar saja, harus cepat,” kata John.
Persoalan yang dihadapi saat ini menurutnya ada pada izin impor pesawat caravan yang telah habis.
“Caravan sudah mati registrasinya, sudah ada di Indonesia tapi tidak ada operator. Kalau heli masih, karen izinnya habis di Juli. Pemerintah dengan PT Asian One Air sedang negosiasi, siapa yang akan memproses izin impor tetap, kalau memang ada yang mau maka harus cepat memprosesnya, jadi psawat dikirim keluar baru masukan kembali ke Indonesia dengan operator lain biar tidak kena PPnBM,” tutupnya. (Aji)