Timika, APN – Kasus malaria di Mimika cenderung mengalami kenaikan. Data terakhir, Annual Parasite Incidence (API) malaria ada di angka 500 per 1000 penduduk.
Angka itu berarti setengah penduduk Mimika terinfeksi malaria atau dari 10 orang warga, 5 di antaranya positif malaria.
“Dulu kita bicara 300 per seribu, sekarang sudah 500 per seribu. Ini kenaikan yang luar biasa,” kata Ketua Malaria Center yang juga Wakil Bupati Mimika, Johannes Rettob pada pers rilisnya, Rabu (20/7/2022).
Pangkal persoalannya ada pada ketidakpedulian. Misalnya, tidak minum obat sampai tuntas dan warga yang tidak peduli pada kebersihan lingkungan.
Di lingkup pemerintahan, eliminasi malaria sebetulnya sudah ada di dalam RPJMD Mimika. Sayang, program kegiatan atau rencana kerja tahunan OPD terkait tak mengikuti RPJMD.
Padahal kata John Rettob, dalam upaya eliminasi malaria, peran sektor kesehatan hanya 25 persen, sisanya adalah bagian atau peran sektor-sektor lain.
“Peran RT dan kepala kampung juga sangat besar,” katanya.
Anggota Tim Kerja Penyakit Tular Vektor Kemenkes, dr Desriana Elisabeth Ginting mengatakan ada dua strategi menyelesaikan malaria di Mimika.
Pertama, menemukan kasus sebanyak-banyaknya dan diobati. Strategi ini serupa dengan strategi penanganan covid-19.
“Menemukan kasus sebanyak mungkin dan diobati sehingga jumlah plasmodium yang beredar di tubuh manusia di Timika bisa berkurang,” katanya.
Strategi kedua adalah intervensi lingkungan. Faktanya, nyamuk anopheles yang menularkan malaria butuh air yang berbatasan langsung dengan tanah untuk berkembang biak seperti genangan atau kolam ikan.
“Kalau saya bilang ini masalah ketidakpedulian. Masyarakat harus diajar peduli pada diri sendiri dan lingkungan,” kata Desriana.
Padahal katanya, malaria jelas berpengaruh pada banyak hal. Misalnya dari sisi ekonomi, tingkat produktivitas di Mimika dipastikan turun karena banyak yang sakit malaria.
Di sisi pengembangan SDM, malaria juga membawa dampak. dua puluh lima persen di antara para penderita malaria adalah anak-anak dan ibu hamil, yang menyebabkan peningkatan berbagai risiko kesehatan seperti gangguan tumbuh kembang anak dan janin, stunting, keguguran, gangguan kecerdasan, dan bahkan kematian.
“Stunting tinggi hanya karena malaria. Sekitar 20 persen anak-anak ketiak dicek malaria dia positif. Tanpa malaria kita bisa lebih produktif, Papua pasti lebih maju,” katanya.