Jayapura, Antarpapua.com – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Festus Ngoranmele di Kota Jayapura, Provinsi Papua menyatakan penolakan keras terhadap rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa industri terpadu berbasis kelapa sawit oleh PT Fajar Surya Persada Group di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Ia menyebut proyek ini sebagai bentuk perampasan hak masyarakat adat yang terorganisir dan sistematis.
Menurut Festus, proyek perkebunan sawit skala besar tersebut akan mengorbankan hutan adat masyarakat Moi dan masyarakat adat lainnya yang selama ini hidup bergantung pada sumber daya alam di wilayah tersebut.
“PSN ini adalah bencana mematikan yang dirancang negara untuk kepentingan korporasi, bukan untuk rakyat Papua,” ujarnya.
Ia menegaskan, proyek-proyek sawit sebelumnya telah menimbulkan deforestasi, pencemaran lingkungan, konflik sosial, hingga penggusuran masyarakat adat dari tanah leluhurnya.
“Kita sudah lihat kasus pencemaran Sungai Klasof dan tanah dijual hanya Rp6.000 per hektar. Ini bukan pembangunan, ini penipuan,” kata Festus.
LBH Papua mencatat bahwa proyek-proyek sawit yang telah beroperasi di Sorong tidak mematuhi prinsip persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat adat. Hal ini dinilai melanggar hak-hak dasar yang dijamin oleh hukum nasional maupun internasional.
“Negara selama ini justru menjadi fasilitator kepentingan korporasi. Undang-undang seperti Cipta Kerja hingga UU Minerba tidak memberi ruang pada masyarakat adat untuk mempertahankan haknya,” katanya.
Festus juga menyoroti lambannya pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sejak lama diperjuangkan, tetapi selalu terhambat di parlemen.
“Ini menandakan betapa rendahnya kemauan negara untuk berubah dan melindungi kami sebagai warga negara,” tegasnya.
LBH Papua mendesak agar Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya menghentikan seluruh rencana PSN sawit di atas lahan seluas hampir 99 ribu hektar yang digadang-gadang bernilai investasi Rp24 triliun.
“Itu investasi yang akan mengorbankan kehidupan dan identitas masyarakat adat,” ujar Festus.
Pihaknya juga meminta pemerintah daerah dan pusat segera mengakui dan menetapkan wilayah adat sebagai benteng terakhir perlindungan ekologi Papua.
“Kami tidak butuh PSN, kami butuh pengakuan dan perlindungan,” katanya.
Penolakan ini disampaikan sebagai bentuk perlawanan terhadap segala bentuk kebijakan negara yang mengabaikan suara masyarakat adat Papua. (Redaksi)