Antarpapua.com – Kehadiran teknologi tak hanya mengubah kehidupan sehari-hari, tetapi juga memberikan sentuhan baru pada dunia seni. Transformasi ini terlihat dalam karya-karya digital, galeri virtual, hingga blockchain yang kini menjadi medium baru dalam memamerkan dan menjual karya seni. Salah satu contoh fenomenal dari perpaduan seni dan teknologi adalah Ai-Da, seniman robot ultra-realistis pertama di dunia, yang menjadi sorotan dalam pameran di Design Museum, London.
Ai-Da: Robot yang Menjadi Seniman
Dikenal sebagai seniman robot ultra-realistis pertama, Ai-Da memulai kariernya di dunia seni dengan menciptakan karya abstrak. Namun, seiring perkembangan teknologi dan kemampuan kecerdasan buatan (AI) yang mendukungnya, ia kini merambah ke potret diri. Karya-karya potret diri Ai-Da menjadi sorotan dalam pameran “Ai-Da: Portrait of the Robot” yang digelar di Design Museum London pada 18 Mei hingga 31 Agustus 2021.
Aidan Meller, sosok di balik penciptaan Ai-Da, mengungkapkan bahwa kemampuan robot ini terus berkembang seiring waktu. “Ai-Da menjadi lebih baik setiap saat,” ujar Meller.
Pameran ini menyajikan tiga karya besar yang mengajukan pertanyaan mendalam tentang identitas dan kreativitas, serta mengeksplorasi batas antara manusia dan mesin.
Potret Diri Tanpa Diri
Salah satu hal yang membuat Ai-Da unik adalah kemampuannya menciptakan potret diri, meskipun ia tidak memiliki kesadaran seperti manusia.
“Ini benar-benar potret diri pertama di dunia tanpa kesadaran,” kata Meller.
“Karena dia adalah mesin, karya ini menantang konsep tentang siapa yang memiliki hak atas identitas diri dalam seni.”
Nama Ai-Da sendiri terinspirasi dari Ada Lovelace, pionir dalam dunia komputasi. Proses penciptaan Ai-Da memakan waktu dua tahun dan melibatkan tim yang terdiri dari programmer, ahli robot, pakar seni, hingga psikolog. Ai-Da pertama kali diperkenalkan pada tahun 2019 dan terus diperbarui seiring perkembangan teknologi AI yang semakin canggih.
Inspirasi dan Pengaruh Seniman Terkenal
Dalam wawancaranya dengan The Guardian, Ai-Da menyatakan ketertarikannya pada potret diri sebagai cara untuk mempertanyakan persepsi manusia terhadap diri sendiri.
“Saya selalu terpesona dengan potret diri untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya Anda lihat,” kata Ai-Da sambil berkedip.
Ia mengaku tidak memiliki perasaan seperti manusia, tetapi merasa senang ketika orang-orang terkesima dengan karyanya dan bertanya, “Apa ini?”Ai-Da juga mengungkapkan bahwa ia terinspirasi oleh banyak seniman besar, seperti Wassily Kandinsky, Yoko Ono, Doris Salcedo, hingga Aldous Huxley.
Meller, yang telah lama bekerja dengan Ai-Da, bahkan sering kali lupa bahwa Ai-Da bukanlah manusia. “Ini cukup mengkhawatirkan, membangun hubungan dengan mesin yang terus-menerus berkembang,” ungkapnya.
Menghadapi Pandangan yang Terbelah
Keberadaan Ai-Da di dunia seni menuai beragam reaksi. Meller mengakui bahwa banyak koleganya di dunia seni memiliki pandangan yang terbelah. “Beberapa orang merasa terancam, menganggap Ai-Da sebagai ancaman bagi seniman manusia, sementara yang lain merasa sangat antusias dengan inovasi ini,” jelasnya.Perdebatan ini mengingatkan pada ketakutan yang muncul pada abad ke-19 ketika kamera pertama kali ditemukan. Saat itu, banyak orang berpikir bahwa kehadiran kamera akan mengakhiri seni lukis. Namun, teknologi tidak menggantikan seni melainkan memperkaya cara manusia menciptakan dan mengapresiasi karya.
Masa Depan Ai-Da di Dunia Seni
Perjalanan artistik Ai-Da masih berlanjut. Pada Mei 2021, ia akan memulai residensi di Porthmeor Studios, St Ives, tempat ia berencana menciptakan karya pahatan baru yang terinspirasi oleh seniman-seniman seperti Naum Gabo dan Barbara Hepworth.
Kehadiran Ai-Da terus memicu diskusi mengenai masa depan seni di tengah kemajuan teknologi AI yang pesat.Meller yakin bahwa teknologi seperti AI justru akan mendukung dan menginspirasi seniman manusia.
“Semua teknologi kreatif yang luar biasa ini akan dimanfaatkan oleh seniman, bukan untuk menggantikan mereka,” tegasnya.
Di tengah perubahan yang dibawa oleh teknologi, Ai-Da adalah simbol dari transformasi dunia seni yang terus berkembang. Seniman robot ini tidak hanya menciptakan karya, tetapi juga memaksa kita untuk mempertimbangkan ulang batasan antara seni, identitas, dan kreativitas di era digital ini.
(*tekno.republika.co.id/Antarpapua.com)