Mengenal Suku Asmat Lebih Dekat

Antar Papua

Antarpapua.com – Di Indonesia, ada banyak sekali suku adat yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, mulai dari timur sampai barat. Mereka mempunyai karakteristiknya masing-masing serta budaya yang patut untuk dilestarikan dan dibanggakan. Salah satunya yaitu Suku Asmat yang dapat kita temui di Papua, yakni pulau paling timur Indonesia. Suku Asmat merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di Papua.

Di mana etnis ini adalah salah satu suku Papua yang paling dikenal di Indonesia. Sebab, populasi dari kelompok masyarakat Asmat ini berjumlah paling banyak dibandingkan dengan suku lain yang ada di Papua.

Karena jumlahnya yang sangat banyak, Suku Asmat ini tidak tinggal di satu tempat saja, melainkan tersebar di berbagai wilayah di Papua, seperti daerah pesisir sampai pedalaman rimba Papua.

Salah satu yang membuat suku-suku yang ada di Papua unik dan mengundang rasa penasaran yaitu karena banyak dari mereka yang masih memegang erat adat istiadat warisan leluhur.

Begitu juga dengan Suku Asmat, suku yang satu ini dikenal karena keterampilannya, terlebih dalam membuat ukiran kayu tradisional khas Papua.

Jika dilihat secara fisik, orang-orang asli Suku ini mempunyai postur tubuh yang tinggi, besar, dan sangat tegap. Secara keseluruhan, mereka mempunyai warna kulit dan juga rambut yang cenderung gelap.

Ciri-Ciri Suku Asmat

Simbol Perempuan dan Ukiran Suku Asmat

Pada hakikatnya, masyarakat Suku Asmat menempatkan perempuan di posisi yang sangat berharga. Hal tersebut telah tersirat dalam berbagai seni ukiran dan juga pahatan yang disimbolkan melalui bentuk flora dan juga fauna yang dinilai penting, seperti misalnya pohon, nuri, dan burung kakatua.

Namun, sayangnya, dibalik popularitas seni pahatan dan juga ukiran masyarakat Asmat, tersirat realita pahit mengenai kehidupan kaum perempuan yang terasa sangat berat. Di sana mereka merupakan sosok sentral yang memikul banyak sekali tanggung jawab dalam rumah tangga.

Sedangkan laki-laki Asmat cenderung menjalani kehidupannya dengan sifat yang lebih hedonis. Sehari-hari, mereka menikmati makanan yang telah disediakan oleh sang istri, menghisap tembakau, mabuk, dan berjudi. Terkadang, para laki-laki juga membuat rumah atau perahu.

Akan tetapi, lagi-lagi pekerjaan tersebut akan diselesaikan dengan meminta bantuan perempuan. Ada juga suami yang mau menemani istrinya bekerja mencari makanan. Namun, mereka hadir benar-benar hanya sekadar untuk menemani saja. Para perempuan ini seringnya harus tetap bekerja keras seorang diri, misalnya saja untuk mendayung perahu dan menebang kayu.

Sementara itu, untuk ukiran khas Suku Asmat biasanya memiliki corak dan motif yang cukup beragam. Akan tetapi, yang paling sering digunakan oleh para pemahat adalah tema nenek moyang yang disebut dengan mbis. Hal itu menunjukkan bahwa Suku Asmat ini sangat terikat dan menghormati leluhur mereka.

Bahkan, hal itu diwujudkan dalam kesenian berupa kerajinan tangan. Adapun motif lain yang sering digunakan yaitu perahu yang disebut dengan wuramon.

Suku Asmat percaya bahwa perahu yang ada di dalam ukiran kayu mereka adalah simbol perahu arwah yang akan membawa nenek moyang mereka ke alam kematian. Sekali lagi, tema tersebut tetap masih berhubungan dengan nenek moyang. Hal itu tidak mengherankan, mengingat kesenian ukiran kayu adalah perwujudan orang-orang Asmat untuk mengenang arwah para leluhur yang mereka cintai dan junjung tinggi.

Sebaran Suku Asmat

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa Suku Asmat merupakan salah satu suku dengan jumlah anggota terbanyak di Papua. Oleh karena itu, persebarannya cukup merata, mulai dari wilayah pesisir hingga pedalaman hutan.

Kelompok masyarakat Asmat yang tinggi di daerah pesisir terletak di sekitar pantai Laut Arafuru. Kehidupan Suku Asmat pesisir ini tergolong lebih mudah, karena dekat dengan sumber mata air dan makanan, baik itu ikan atau hewan buruan.

Sedangkan Suku Asmat yang tinggi di daerah pedalaman hutan, berada di kawasan pegunungan Jayawijaya. Medan pegunungan ini cukup berat, karena memang merupakan hutan belantara. Sumber daya alam yang ada di sekitarnya lebih terbatas bila dibandingkan dengan Suku Asmat yang tinggal di daerah pesisir. Contohnya, batu yang biasanya kita temukan di jalanan dan dianggap biasa, tapi bagi masyarakat Suku Asmat hal tersebut bisa menjadi benda yang berharga dan dapat dijadikan sebagai mas kawin. Karena di daerah tempat tinggal mereka yang berupa rawa-rawa akan sangat sulit untuk menemukan batu.

Baca Juga |  Selfitis, Perilaku Kecanduan Foto Selfie

Bagi mereka, batu memiliki banyak sekali manfaat untuk kehidupan sehari-hari. Dengan batu, mereka dapat membuatnya menjadi palu, kapak, dan peralatan lainnya untuk bertahan hidup.

Kondisi Alam di Tempat Tinggal Suku Asmat

Wilayah yang menjadi tempat tinggal masyarakat Asmat ini sudah dipisah dan dijadikan sebagai kabupaten yang bernama Kabupaten Asmat. Di wilayah tersebut, ada sekitar 7 kecamatan atau lebih yang dikenal dengan nama distrik. Uniknya, di wilayah tersebut hampir setiap hari turun hujan. Curah hujan di daerah tersebut mencapai 3.000 hingga 4.000 milimeter per tahunnya.

Tak hanya mempunyai curah hujan yang tinggi, di wilayah pesisir ini juga sering terjadi pasang surut air laut yang selalu memasuki wilayah tempat tinggal mereka. Oleh sebab itu, permukaan tanah di tempat tinggal Suku Asmat sangat basah dan juga berlumpur. Tanahnya berwarna cokelat dengan kondisi yang sangat lembek tertutup oleh jaring laba-laba sungai.

Namun sebenarnya, Suku Asmat ini sudah membuat jalan dengan cara meletakkan papan kayu di atas tanah yang sangat lembek dan berlumpur itu. Akan tetapi, karena curah hujan dan juga air laut yang selalu datang setiap harinya, hal itu menjadikan akses jalan menjadi sulit untuk dilewati kendaraan bermotor. Bahkan ketika berjalan kaki, kita juga harus tetap berhati-hati supaya tidak terpeleset.

Mata Pencaharian Orang-Orang Asmat

Suku Asmat yang tinggal di wilayah pesisir biasanya mencari makanan dengan cara menangkap ikan dan juga udang atau berburu hewan di hutan. Selain itu, mereka juga meramu sagu sebagai salah satu makanan pokok, seperti kebanyakan orang Indonesia lain yang sehari-harinya menanak nasi.

Sedangkan Suku Asmat yang tinggal di daerah pedalaman, mereka sehari-harinya akan berburu di hutan. Biasanya, mereka akan menangkap berbagai macam hewan, mulai dari burung kasuari, babi hutan, ular, dan lain sebagainya. Sama halnya dengan masyarakat Asmat yang tinggal di pesisir, Suku Asmat di pedalaman hutan juga meramu sagu untuk makanan pokok mereka.

Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Suku Asmat akan memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Hal itu dapat dilihat dari kebiasaan mereka menangkap ikan dan juga berburu hewan di hutan. Selain kedua hal tersebut, Suku Asmat juga melakukan berbagai kegiatan seperti berkebun. Metode yang mereka gunakan untuk berburu, menangkap ikan, dan berkebun masih terkesan tradisional dan sederhana.

Mata pencaharian masyarakat Asmat mencerminkan pola hidup mereka yang selalu merasa bahwa diri mereka merupakan bagian dari alam. Hal itulah yang menyebabkan mereka selalu menjaga kelestarian alam dan juga menghormatinya. Bahkan pepohonan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka dianggap sebagai gambaran diri.

Akar pohon dianggap sebagai simbol kaki mereka, batang pohon disimbolkan sebagai tangan, dan buah adalah kepala. Pola hidup tersebut patut kita contoh bahkan oleh masyarakat modern supaya kelestarian alam lebih terjaga.

Adat Istiadat Suku Asmat

Sampai saat ini, masyarakat Suku Asmat masih memegang erat adat istiadat yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka. Hukum adat istiadat tersebut selalu diterapkan di dalam kehidupan mereka sehari-hari, di antaranya yaitu:

1. Tradisi Ketika Hamil

Ketika ada perempuan Asmat hamil, mereka akan sangat dijaga oleh keluarganya. Perempuan hamil akan diperlakukan dengan sangat baik sampai persalinan dapat dilakukan dengan lancar dan bayi lahir dengan sehat dan selamat.

2. Proses Kelahiran

Setelah bayinya lahir, maka akan diadakan upacara selamatan dengan cara pemotongan tali pusar dengan bantuan sembilu yang dibuat dari bambu yang diruncingkan. Bayi akan disusui oleh ibunya sampai usianya 2 hingga 3 tahun.

3. Proses Pernikahan

Pernikahan masyarakat Suku Asmat hanya dapat dilakukan ketika seseorang sudah berusia 17 tahun atau lebih. Di mana pernikahan tersebut juga dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari kedua belah pihak. Ada juga kebiasaan menguji keberanian para laki-laki dengan cara membeli perempuan dengan menggunakan piring antik.

Baca Juga |  Penerimaan Peserta Didik Tahun Ajaran 2024-2025, Orang Tua di Mimika Wajib Tau Batas Usia Anak Masuk SD

4. Mumi Suku Asmat

Di dalam kebudayaan Suku Asmat, dikenal adanya tradisi mengawetkan jasad orang yang sudah meninggal dunia atau yang dikenal dengan istilah mumifikasi. Akan tetapi, hal ini hanya berlaku untuk kepala suku atau kepala adat. Jasad pemimpin adat akan dijadikan mumi, lalu akan dipajang di depan rumah adat Suku Asmat.

Upacara Adat

Seperti suku-suku lainnya yang ada di Indonesia, tradisi dan juga kepercayaan masyarakat Suku Asmat juga diungkapkan melalui upacara adat. Berikut ini adalah upacara tradisional dari salah satu suku yang ada di Papua ini, antara lain:

1. Ritual Kematian

Bagi Suku Asmat, meninggalnya seseorang tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat alami, tapi disebabkan oleh roh jahat yang mengganggu dan menyebabkan orang tersebut meninggal dunia. Oleh sebab itu, masyarakat Suku Asmat percaya bahwa anggota mereka yang sedang sakit harus dibuatkan sebuah padar dari pohon nipah.

Di mana pagar tersebut bertujuan supaya roh jahat yang ada di sekitar mereka pergi dan tidak mendekat lagi. Orang-orang Suku Asmat juga akan berkerumun di sekeliling orang yang sakit walaupun tidak mengobati atau memberinya makan. Namun, setelah orang yang sakit tersebut meninggal dunia, mereka akan berebut untuk memeluk dan menggulingkan badan di lumpur.

Mayat tersebut kemudian akan diletakkan di atas para atau anyaman bambu sampai membusuk. Setelah itu, tulang belulangnya akan disimpan di atas pohon kayu dan tengkoraknya akan dijadikan bantal sebagai simbol kasih sayang terhadap kerabat mereka.

Ada juga yang meletakkan mayat di atas perahu dengan disertai sagu dan juga dibiarkan terombang-ambing di lautan. Selain itu, mayat tersebut kadang kala dikuburkan dengan ketentuan pria tanpa busana dan perempuan menggunakan busana.

Mayat tersebut akan dikubur di hutan, tepi sungai, ataupun semak-semak. Berikutnya, orang yang sudah meninggal dunia akan dibuatkan ukiran yang disebut dengan mbis. Karena Suku Asmat percaya, bahwa jika roh mati masih berkeliaran di sekitar rumah mereka.

2. Upacara Mbismbu

Mbis adalah ukiran patung tonggak nenek moyang ataupun kerabat yang sudah meninggal dunia. Upacara adat Suku Asmat ini bermakna supaya mereka selalu ingat dengan kerabat yang sudah meninggal. Apabila kematian tersebut terjadi karena dibunuh, maka mereka akan membalaskan dendam dengan cara membunuhnya juga.

3. Upacara Tsyimbu

Tsyimbu merupakan upacara pembuatan dan juga pengukuhan rumah lesung ataupun perahu yang diadakan lima tahun sekali. Perahu tersebut akan diwarnai dengan warna merah dan warna putih secara berseling di bagian luar dan berwarna putih di bagian dalam.

Selain itu, perahu tersebut juga akan diukir dengan gambar keluarga yang sudah meninggal dunia, dan gambar binatang, serta gambar lainnya. Perahu itu juga akan dihias dengan sagu. Akan tetapi, sebelumnya keluarga besar akan berkumpul di rumah kepala suku atau adat untuk melakukan pertunjukan nyanyian dan juga tarian diiringi tifa.

Para pendayung akan menggunakan hiasan cat berwarna putih merah dengan aksesoris bulu-bulu burung. Upacara adat ini sangat ramai dengan sorak-sorak anak serta perempuan. Namun, ada juga yang menangis karena mengenang kerabat ataupun keluarga yang meninggal dunia.

Tradisi zaman dulu menggunakan perahu tersebut dilakukan untuk memprovokasi musuh agar berperang. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, fungsi dari upacara ini berubah menjadi pengangkut makanan.

4. Upacara Yentpokmbu

Suku Asmat memberi nama rumah bujang sesuai dengan marga pemiliknya. Rumah bujang ini merupakan bangunan yang dapat digunakan untuk kegiatan religius atau non religius. Selain itu, rumah tersebut juga dapat difungsikan untuk kumpul keluarga. Akan tetapi, di dalam kondisi tertentu, misalnya saja ketika penyerangan, maka perempuan dan anak-anak tidak diperbolehkan masuk.

(*gramedia.com/Antarpapua.com)

Cek juga berita-berita Antarpapua.com di Google News