Antarpapua.com – Suku Migani (dikenal juga sebagai Miga Mene atau Moni) adalah kelompok etnis yang mendiami Kabupaten Intan Jaya di Papua Tengah, Indonesia. Sebaran geografis utama suku ini terdapat di wilayah Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga, Weandoga (Paniai), Duma-Dama, dan Domondoga. Mereka berbicara bahasa Moni.
Kata “Migani” berasal dari kata Miga yang artinya asli, murni, tulen dan Ni yang artinya orang, manusia. Sehingga arti Migani adalah “manusia sejati”. Istilah “Moni” pertama kali digunakan tahun 1970-an oleh Bupati Nabire (1969-1972), Karel Gobay.
Moni, nama yang diberikan oleh orang Ekari, atau Migani, nama yang diberikan oleh penduduk setempat, juga dikenal sebagai Djonggunu, Jonggunu, adalah bahasa Papua yang dituturkan oleh sekitar 20.000 orang (1991) di wilayah Danau Paniai di provinsi Papua Tengah, Indonesia. Mayoritas penutur bahasa Moni tinggal di Lembah Kemandoga.
Banyak orang yang menyebut Suku Moni dengan sebutan Suku Moni. Namun, Suku Moni sendiri menyebut mereka sebagai Suku Migani. Suku Moni atau Suku Migani ini termasuk suku yang masih memegang teguh kepercayaan mereka. Salah satunya adalah selalu memberi hormat pada orang-orang yang sudah meninggal.
Suku Moni juga merupakan salah satu suku di Papua yang masih mengenakan Koteka. Sebagian masyarakat Suku Moni pun memeluk agama kristen.
Mayoritas masyarakat Moni hidup dari pertanian subsisten. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan seperti ubi jalar, talas, dan sayuran. Selain itu, berburu dan meramu juga merupakan bagian penting dari kehidupan mereka. Kehidupan ekonomi suku Moni sangat tergantung pada sumber daya alam yang ada di sekitar mereka.
Sistem sosial suku Moni didasarkan pada kepemimpinan tradisional yang dikenal sebagai kepala suku atau tetua adat. Kepala suku memiliki peran penting dalam memimpin dan menjaga keharmonisan dalam komunitas. Mereka juga memiliki tanggung jawab dalam memutuskan berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat.
Suku Moni memiliki kebudayaan yang unik. Tradisi Mumi misalnya. Tradisi ini masih tersimpan dan di jaga dengan sangat baik oleh warganya. Adapun Arsitektur Tradisional Suku Moni yang indah, yaitu Nduni dan Mina. Nduni merupakan rumah adat untuk laki-laki, sedangkan Mina, merupakan rumah adat untuk perempuan.
Mengenal Benda Tradisional sebagai Alat Barter Suku-suku di Papua. Sebelum menggunakan mata uang, masyarakat di Papua zaman dulu menggunakan sistem barter dalam bertransaksi. Salah satunya, kulit bia.
Kulit bia adalah cangkang atau rumah dari hewan moluska laut yang dikenal sebagai kerang laut atau siput laut. Bia adalah istilah yang sering digunakan di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Maluku dan Papua, untuk merujuk pada hewan-hewan laut tersebut.
Cangkang atau kulit bia ini sering kali memiliki bentuk yang indah dan beragam, dengan berbagai warna dan pola yang menarik. Kulit bia tidak hanya berfungsi sebagai pelindung bagi hewan yang hidup di dalamnya, tetapi juga memiliki nilai ekonomi dan budaya. Di beberapa daerah, kulit bia digunakan sebagai bahan kerajinan tangan, perhiasan, atau bahkan alat musik tradisional.
Meskipun kini alat transaksi modern berupa uang telah mendominasi sendi-sendi kehidupan masyarakat di Papua, tetapi alat barter tradisional yang dimiliki oleh suku-suku di Papua kini masih dijadikan sebagai sebuah alat pembayaran maskawin yang terus dilestarikan.
Kulit bia merupakan kekayan bagi suku Moni. Bagi masyarakat suku moni, orang yang memiliki atau menyimpan kulit bia merupakan orang kayaraya.
Meskipun kini alat transaksi modern berupa uang telah mendominasi sendi-sendi kehidupan masyarakat di Papua, tetapi alat barter tradisional yang dimiliki oleh suku-suku di Papua kini masih dijadikan sebagai sebuah alat pembayaran maskawin yang terus dilestarikan. (*)