JAKARTA, Antarpapua.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang diajukan oleh Plt. Bupati Mimika Johanes Rettob. Putusan ini dibacakan pada sidang putusan yang digelar pada Selasa (18/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar Putusan, Menolak Permohonan Provisi Pemohon. Menolak Permohonan Pemohon,” ucap Ketua MK Anwar Usman membaca Amar Putusan Nomor 60/PUU-XXI/2023 tersebut.
Dalam pertimbangan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Majelis Hakim Konstitusi merujuk pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-1/2005 tersebut.
Mahkamah menegaskan pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah merupakan tindakan administratif hukum tata usaha negara yang berjalan setelah bekerjanya proses hukum pidana terhadap kepala daerah/wakil kepala daerah.
Selain itu, lanjut Daniel, syarat pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah adalah setelah suatu perkara diregistrasi di pengadilan. Hal demikian, sebagaimana tertuang dalam norma Pasal 83 ayat (2) UU 23/2014 yang menyatakan.
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan”.
Sedangkan, sambung Daniel, terkait dengan penahanan kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 21 KUHP, penahanan terhadap seseorang dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, ataupun hakim yang dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup—dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Sehingga, Daniel menjelaskan penahanan baru dapat dinyatakan sah apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu berupa syarat sahnya penahanan (rechtsvaardigheid) dan perlunya penahanan (noodzakelijkheid).
Sementara itu, sambung Daniel, secara doktriner, sahnya penahanan bersifat objektif dan mutlak, yaitu sepanjang terpenuhinya syarat yang ditentukan di dalam undang- undang tentang tindak pidana yang tersangkanya dapat dilakukan penahanan. Sedangkan, makna mutlak berarti pasti yang artinya tidak dapat diatur sendiri oleh penegak hukum. Sementara syarat lain adalah penahanan bersifat relatif/subjektif yang berarti tindakan penahanan merupakan pilihan dan bergantung pada penilaian pejabat yang akan melakukan penahanan kapankah suatu penahanan diperlukan.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ditahan atau tidaknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal a quo tidak dapat menghentikan bekerjanya proses hukum tata usaha negara berupa pemberhentian sementara karena ditahan atau tidaknya kepala daerah/wakil kepala daerah bukan merupakan unsur yang menentukan dikenainya tindakan administratif pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal a quo,” terang Daniel membacakan Putusan atas permohonan yang diajukan oleh Plt. Bupati Mimika Johanes Rettob tersebut.
Pemaknaan Baru
Kemudian, Daniel melanjutkan, Pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan baru terhadap ketentuan Pasal 83 ayat (1) dengan mengecualikan kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak dilakukan penahanan dan tidak dalam status penangguhan penahanan.
Permohonan Pemohon tersebut telah ternyata menghilangkan esensi utama dari Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, yaitu ketentuan terkait pemberhentian sementara kepala daerah wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana.
Dengan hilangnya esensi dan tujuan dari pengaturan dalam norma Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, menurut Mahkamah, hal demikian akan menyebabkan rusaknya konstruksi dari norma Pasal a quo, padahal ketentuan terkait Pasal a quo berkaitan erat dengan rumusan dari norma pasal-pasal berikutnya. Sehingga, lanjut Daniel, menghilangkan esensi pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah yang melakukan tindak kejahatan pidana sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda akan merusak tatanan norma serta menghilangkan jaminan kepastian hukum dalam penanganan kasus hukum bagi kepala daerahwakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 telah ternyata memberikan kepastian hukum yang adil dan memberikan perlindungan atas kehormatan dan martabat sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya,” tandas Daniel.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan pada 1 Maret 2023, Pemohon didakwa dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi, tetapi tidak ditahan. Kemudian, pengadilan mengeluarkan putusan sela yang pada pokoknya memutuskan dakwaan dari Kejaksaan Tinggi Papua batal demi hukum. Pemohon menilai bahwa dirinya yang diangkat sebagai Plt. Bupati Mimika berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dilekati wewenang, tugas, hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai kepala daerah (in casu Plt. Bupati Mimika), yang wewenang, tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tersebut tidak akan terganggu/terhambat karena terhadap diri Pemohon tidak ditahan oleh aparat penegak hukum.
Sehingga, menurut Pemohon, selama proses pemeriksaan perkara a quo ini berjalan, maka MK perlu memberikan Putusan Sela dalam perkara a quo dengan menyatakan menunda pemberlakuan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda terhadap terdakwa yang tidak dilakukan penahanan sampai adanya Putusan Akhir.
Kemudian, Pemohon juga meminta MK dalam Pokok Perkara menyatakan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat sepanjang tidak dimaknai: dikecualikan terhadap terdakwa yang tidak dilakukan penahanan.
Sumber : www.mkri.id