Mimika, Antarpapua.com – Bupati Mimika, Johannes Rettop, menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi ketimpangan pengelolaan kekayaan alam dan penerimaan daerah dalam wawancaranya bersama CNBC Indonesia, Jumat (20/06/2025). Dalam kesempatan itu, Rettop menyoroti ironi besar yang selama ini dirasakan masyarakat Mimika: kaya akan tambang emas kelas dunia, namun masih harus berjuang untuk mendapatkan hak-haknya dari pemerintah pusat.
“Dana itu harus lewat pusat dulu, baru kembali ke Mimika sebagai Dana Bagi Hasil (DBH). Sayangnya, kadang yang dikembalikan tidak sesuai dengan kesepakatan awal,” ujar Rettop.
Ia menambahkan, proses pencairan DBH pun kerap tidak tepat waktu. Hal ini membuat pemerintah daerah kesulitan dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), karena ketidakpastian dana yang akan diterima.
“Kadang harusnya tahun ini, tapi baru keluar tahun depan. Akhirnya, kami hanya bisa berasumsi saat menyusun APBD. Ini sangat tidak ideal,” tambahnya.
Rettop menyebut bahwa sekitar 80 persen dari total APBD Mimika sebesar Rp6,6 triliun pada 2024 bersumber dari kontribusi tambang PT Freeport Indonesia. Hal ini menurutnya mencerminkan struktur ekonomi daerah yang tidak sehat dan sangat bergantung pada satu sektor.
“PAD (Pendapatan Asli Daerah) kita masih kecil. Kita sedang berusaha kembangkan sektor lain seperti perikanan dan pariwisata, karena potensi ikan kita besar. Tapi, pengelolaannya tidak maksimal karena regulasi dan izin semua dari pusat,” ungkapnya.
Bupati Rettop juga menyoroti minimnya kewenangan pemerintah kabupaten dalam hal perizinan sektor-sektor strategis seperti kehutanan, pertambangan, dan kelautan. Ia mengaku sering kali terkejut ketika mengetahui adanya perusahaan tambang atau kayu yang beroperasi di wilayahnya tanpa koordinasi dengan pemerintah kabupaten.
“Kita ini daerah otonomi, tapi semua harus ke pusat. Bahkan ada tambang atau kayu yang muncul tiba-tiba, kami tidak tahu-menahu. Begitu dicek, ternyata sudah punya izin dari pusat atau provinsi. Tapi tidak sesuai dengan Perda kita,” tegasnya.
Ia juga mencontohkan kasus tambang galian C ilegal yang beroperasi di lokasi-lokasi terlarang menurut peraturan daerah. Saat pemerintah kabupaten berusaha menutup aktivitas tersebut, mereka justru mendapat perlawanan dari pihak perusahaan yang mengantongi izin pusat.
“Kita sudah buat aturan lokal untuk menjaga lingkungan, tapi mereka marah saat ditertibkan. Padahal, izinnya tidak sesuai dengan kondisi lapangan di sini. Bahkan muncul kolam-kolam bekas galian yang jadi sarang nyamuk dan sumber penyakit,” katanya.
Rettop menekankan pentingnya semangat otonomi daerah dijalankan dengan adil dan sungguh-sungguh. Ia berharap pemerintah pusat dapat memberi ruang lebih luas bagi daerah dalam mengelola sumber daya dan memberikan rekomendasi izin usaha di wilayah masing-masing.
“Semangat otonomi itu adalah desentralisasi. Tapi kalau semua kewenangan ada di pusat, kita di daerah jadi penonton. Harusnya ada proses koordinasi dari pusat ke provinsi dan ke kabupaten, bukan langsung dari atas tanpa tahu kondisi lapangan,” tandasnya. (Redaksi)