Antarpapua.com – Ponsel lawas Blackberry yang sempat merajai pasar pada awal 2000-an kini kembali menarik perhatian generasi muda, khususnya Generasi Z. Fenomena ini marak diperbincangkan di media sosial, terutama di platform TikTok, dengan tagar #blackberry yang telah digunakan lebih dari 126 ribu kali.
Melansir The New York Post pada Kamis (12/6), pencarian kata kunci “Blackberry” di TikTok menampilkan ribuan video dari pengguna Gen Z yang menunjukkan aktivitas mereka dalam membeli ponsel Blackberry bekas melalui platform e-commerce, memodifikasi perangkat milik orang tua mereka, atau sekadar menikmati sensasi mengetik di keyboard fisik yang kini dianggap cocok untuk konten ASMR.
“Saya sudah muak dengan Apple. Saya rela menyerahkan hampir segalanya demi sebuah Blackberry!” tulis salah satu pengguna dalam unggahannya.
Tak sedikit pula netizen yang membagikan tips berburu Blackberry lawas melalui situs seperti Facebook Marketplace, eBay, dan Back Market. Ponsel ini dinilai sebagai alternatif terjangkau dibandingkan dengan iPhone, yang saat ini bisa dibanderol hingga puluhan juta rupiah.
Kembalinya minat terhadap Blackberry juga dipicu oleh semakin kuatnya gerakan anti-smartphone di kalangan anak muda. Banyak dari mereka yang ingin keluar dari ketergantungan digital dan mencari cara untuk lebih sadar dalam menggunakan teknologi.
“Smartphone bukan lagi sumber kesenangan,” ujar Pascal Forget, kolumnis teknologi asal Montreal, kepada CBC News. “Dulu menyenangkan, tapi sekarang orang mulai kecanduan. Mereka ingin kembali ke masa yang lebih sederhana dengan perangkat yang lebih sederhana pula,” tambahnya.
Meski tumbuh di era digital, Gen Z dan bahkan sebagian Generasi Alpha kini mulai menyadari dampak negatif penggunaan ponsel secara berlebihan. Studi Pew Research Center tahun 2024 mengungkapkan bahwa hampir separuh remaja saat ini mengaku selalu terhubung ke dunia maya, meningkat tajam dibandingkan satu dekade lalu yang hanya sekitar 24 persen.
Beberapa remaja bahkan melaporkan mengalami fenomena phantom vibration, yakni merasakan getaran ponsel yang sebenarnya tidak terjadi. Hal ini menunjukkan tingginya ketergantungan terhadap perangkat pintar.
Charlie Fisher, seorang mahasiswa berusia 20 tahun, mengatakan bahwa ia memilih untuk mengganti iPhone-nya dengan ponsel lipat sebagai bentuk detoks digital. “Saya melihat segala sesuatu seperti saat saya masih kecil. Emosi saya lebih terhubung dengan dunia nyata,” ujarnya kepada USA Today.
Kembalinya Blackberry dan ponsel lawas lainnya seperti ponsel lipat tak hanya dipandang dari sisi nostalgia, tetapi juga sebagai upaya untuk menciptakan gaya hidup yang lebih sehat. Banyak dari pengguna muda mengaku bahwa mereka kini lebih banyak menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga dan teman, mengeksplorasi hobi baru, serta membatasi aktivitas seperti doomscrolling dan binge-watching.
Namun, penggunaan Blackberry tentu tidak tanpa tantangan. Perusahaan resmi telah menghentikan dukungan terhadap sistem operasinya sejak 4 Januari 2022. Artinya, sebagian besar layanan inti dari ponsel ini tidak lagi berfungsi secara optimal.
Kondisi ini merupakan dampak dari ketidakmampuan Blackberry dalam bersaing dengan kemajuan pesat sistem operasi iOS dan Android. Perusahaan asal Kanada ini gagal mengantisipasi perubahan pasar dan akhirnya kehilangan dominasinya.
Kendati demikian, bagi sebagian Gen Z, Blackberry tetap menawarkan nilai lebih: kesederhanaan, efisiensi, dan sentuhan retro yang kini justru menjadi simbol gaya hidup sadar digital di era modern. (AP)