PT Freeport Indonesia sangat mendukung hilirasasi, yang menjadi kebijakan pemerintah dalam pengolahan hasil tambang, dan harus dikelola di dalam negeri hingga menjadi produk jadi dan dijual ke pasaran dalam dan luar negeri.
Kalau selama ini para jurnalis Mimika hanya mendengar adanya proyek pembangunan Smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur, para jurnalis dari Jayapura, Mimika dan Nabire berkesempatan mengunjungi proyek raksasa tersebut pada Rabu, 22 Februari 2024 yang difasilitasi oleh Corporate Communication PT Freeport Indonesia.
Hal itu juga berkaitan dengan perayaan puncak Hari Pers Nasional (HPN) ke-78 tahun 2024.
Sebelum menjelajahi Jawa Timur, para jurnalis mengikuti perayaan HPN di Gedung Econvention Hall Ancol, Jakarta Utara yang dihadiri Presiden RI, H Ir Joko Widodo dan sejumlah menteri, Kapolri, Panglima TNI, para gubernur, walikota dan bupati serta pengurus PWI dari seluruh Indonesia.
Dari Kota Surabaya, perjalanan ke lokasi Smelter PTFI menempuh waktu sekitar 45 menit dengan melewati jalan tol. Area smelter ini sendiri berada di Kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated Industrial Port Estate ( KEK JIIPE) seluas 3.000 hektar di Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur.
Memasuki kawasan ini, meski hanya bisa melihat dari dalam bus dengan alasan safety, sudah pasti tidak sembarangan orang yang bisa masuk. Bahkan para pekerja sebanyak 20 ribu orang, yang saat ini masih bekerja dalam proses pembangunan tahap akhir, harus parkir di salah satu lokasi di dekat pintu masuk. Dan dari lokasi parkir ini, barulah para karyawan menumpang bus milik perusahaan ke lokasi proyek, dan menempuh perjalanan sejauh 5 kilometer ke lokasi smelter dan sebaliknya
Hingga saat ini, proyek smelter PTFI yang menelan investasi diperkirakan sebesar Rp 33 triliun ini sudah masuk tahap akhir pembangunan dan sudah hampir rampung 91 persen. Smelter ini sendiri berada di lokasi seluas kurang lebih 200 hektar, yang terbentang dari arah pelabuhan hingga ke lokasi perusahaan. Nantinya smelter ini memiliki pelabuhan sendiri, untuk proses pengangkutan konsentrat milik PTFI dari Timika dan akan dimurnikan di lokasi ini menjadi emas, tembaga dan jenis lainnya.
Proyek ini sendiri saat ini sudah memasuki progress 91 persen, dan akan rampung serta ujicoba pada Bulan Mei mendatang serta beroperasi penuh pada Desember 2024.
Memasuki kawasan ini juga, kita bisa menyaksikan pembangunan fasilitas proses peloadingan konsentrat mulai dari kapal, dan akan disalurkan ke gudang melalui peralatan angkut seperti tangki berjalan atau konveyor sejauh 3,4 kilometer. Tampak pembangunan masih berjalan dan sudah pasti menggunakan teknologi canggih.
Lokasi ini selain semua peralatan untuk pemurnian konsentrat, juga sejumlah fasilitas perkantoran, gudang, pabrik pemurnian, perkantoran, rumah ibadah dan fasilitas kesehatan dengan tingkat keamanan yang tinggi.
PT Freeport Indonesia sendiri merupakan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan memenuhi kewajibannya membangun smelter, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Tahun 1994, perusahaan yang melakukan penambangan di Kabupaten Mimika itu mengajak perusahaan asal Jepang, Mitsubishi Material Corporation untuk membuat sebuah perusahaan bernama PT Smelting affiliate of Mitsubishi Jepang. Perusahaan ini tahun 1996 dan memulai proyek pembangunan smelter di atas lahan seluas 28,5 hektar di Gresik tepatnya di Desa Roomo, Kecamatan Manyar.
Dalam jangka waktu dua tahun, pabrik selesai dibangun dan Tahun 1999 adalah tahap awal produksi dengan kapasitas 200.000 ton katoda per tahun. Dan terakhir pada Desember 2023, kapasitas smelter yang seluruhnya menampung konsentrat PTFI itu sudah mencapai 342.000 ton katoda per tahun.
“Hasil dari pemurnian konsentrat yang sudah berbentuk katoda tembaga dijual ke perusahaan yang memproduksi barang seperti kabel dan lainnya. Pasar domestik hanya mampu menyerap 50 persen, dan sisanya dijual ke Malaysia, Thailand, Vietnam dan China,” jelas Senior Manager Technical External Relation PT Smelting, Bouman Tiroi Situmorang.
Kalau di Smelter PT Smelting Gresik saat ini jelas Bouman, untuk karyawan hanya 368 orang. Karena memang di samping sudah menggunakan teknologi tinggi dengan suhu panas, sehingga diupayakan tidak banyak orang yang terpapar suhu panas dan zat kimia industri.
“Di samping juga melibatkan karyawan kontraktor sekitar 1.000-an untuk menopang operasi PT Smelting. Di sini tidak ada bis karyawan khusus, para karyawan datang dan pergi bekerja dengan kendaraan sendiri,”jelasnya.
Bouman Situmorang mengungkapkan, faktor utama pemilihan lokasi pembangunan yang paling penting adalah dekat dengan pabrik pupuk dan industri lainnya yang memanfaatkan produk samping dari smelter.
Di mana saja, bisa membangun smelter setelah melalui penelitian dan pemenuhan persyaratan sesuai undang-undang. Asalkan, ada perusahaan yang dapat menampung sisa pemurnian yang termasuk ke dalam limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Seperti asal sulfat (H2SO4) dan zat berbahaya lainnya.
”Bayangkan kalau produk samping smelter ditumpuk begitu saja, maka diperlukan lokasi dan biaya yang lebih besar untuk menyimpannya dan juga berbahaya. Makanya kalau misalnya di satu lokasi mau dibangun smelter, maka harus ada perusahaan yang menampung sisa produksi tadi dan hal itu yang dilakukan PT Petrokimia dan lainnya di Gresik,” jelas Bouman Situmorang.
Lokasi smelter juga katanya, harus menghadap ke laut, dekat dengan pelabuhan komersil serta ditunjang infrastruktur yang baik. Jadi tidak salah ketika sebuah perusahaan yang menjalankan bisnis dan berorientasi laba, akan memilih lokasi yang menguntungkan. Gresik adalah pilihan karena dari sisi infrastruktur sangat mendukung dan fasilitas penunjang untuk smelter sudah tersedia.
PT Smelting sendiri belum melakukan pemurnian emas dan masih dalam bentuk lumpur anoda yang dijual ke industri pemurnian emas, dan baru mampu menyerap 40 persen konsentrat Freeport. Untuk itu Freeport melakukan pengembangan dengan membangun smelter yang kapasitasnya lebih besar yang saat ini sudah nyaris rampung. Di kawasan JIIPE ini sendiri tidak hanya untuk smelter.
Setidaknya ada belasan perusahaan termasuk Bank Indonesia bahkan juga pabeik roti ternama Sari Roti yang menjadi langganan perusahaan.
Fasilitas pendukung seperti pembangkit listrik, pasokan gas dan jaringan telekomunikasi juga sudah tersedia. Listrik dengan kapasitas 150 MW dibutuhkan.
Smelter PT Freeport Indonesia dirancang memiliki kapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar 2 juta ton per tahun. Sehingga smelter Freeport sebagai tempat pengolahan tembaga terbesar di dunia.
Ditambah dengan kapasitas di PT Smelting yang mencapai 1 juta ton konsentrat per tahun, maka PTFI akan mampu mengolah 3 juta ton konsentrat tembaga per tahun.
Dan juga nantinya, smelter PTFI akan mengolah konsentrat tembaga menjadi 550 ribu ton katoda tembaga dengan kadar 99,99 persen setahunnya.
Tidak hanya tembaga, menurut Arif Adiwisastra selaku PTFI Smelter Permit Coordinator mengatakan, smelter ini juga bisa melakukan pemurnian atau pengolahan emas dengan kapasitas 52 ton per tahun.
“Emas yang dihasilkan nantinya adalah emas murni dalam bentuk batangan. Konsentrat sendiri didominasi oleh tembaga sebesar 25 persen per ton, sedangkan emas seberat 10 gram per ton. Namun harga emas kan lebih mahal, di situ bedanya antara tembaga dan emas,” ujarnya.
Freeport sendiri bakal segera melakukan komisioning yakni kegiatan menilai kesiapan, kelengkapan, kesesuaian, kelaikan alat pertambangan baik berdiri sendiri atau dalam sebuah rangkaian proses untuk mengetahui kehandalannya.
Pabrik dan fasilitas penunjang sudah berdiri dengan megah dan didukung fasilitas modern plus teknologi tingkat tinggi. Konveyor sepanjang 3,4 kilometer yang akan mendistribusikan konsentrat dari pelabuhan sampai ke gudang penampungan sudah terpasang. Smelter ini juga membangun pengolahan air laut jadi air tawar atau bersih untuk kebutuhan pabrik yang disalurkan lewat pipa dari laut.
PT Freeport sendiri tidak meninggalkan tanggungjawab dalam corporate social responsibility (CSR). Dalam proses pembangunan, perusahaan memprioritaskan masyarakat terdekat sebagai tenaga kerja dalam konstruksi dan persiapan operasi. Sehingga bukan hanya sekedar profit oriented, namun juga memberikan manfaat bagi masyarakat.
Bahkan sisa konstruksi berupa besi dan kayu, ditampung oleh pihak yang diberikan tanggung jawab dan diolah lagi menjadi berbagai kerajinan, yang bisa memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat di sekitar smelter termasuk di Gresik sendiri.