Timika, APN – Sejarah akan diukir oleh masyarakat suku Kamoro, pada 24 April 2022 mendatang dengan adanya rencana rekonsiliasi perubahan nama dari “Kamoro” menjadi “Mimika Wee” yang dalam bahasa asli Suku Kamoro artinya “Orang Mimika”.
Rekonsiliasi menurut pengertian kamus besar bahasa Indonesia artinya perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula, dan perbuatan menyelesaikan sebuah perbedaan. Hal inilah yang menurut Wakil Ketua I Lembaga Adat Masyarakat Kamoro (Lemasko) Dominikus Mitoro akan dilakukan oleh masyarakat Kamoro mulai dari Nakai hingga Potowayburu, yang berkumpul di Kokonao Distrik Mimika Barat.
Dominikus menjelaskan rekonsiliasi dalam gereja Katolik merupakan sebuah momen sakral keagamaan yang mengharuskan semua masyarakat Kamoro mulai dari nenek moyang hingga generasi muda melakukan pengakuan dosa, sehingga bersih.
“Kita harus mengakui kesalahan entah orang tua-tua, anak muda, secara pribadi atau banyak orang harus mengaku, sehingga nanti pada misa (rekonsiliasi) ada dua amplop, salah satunya akan diisi dengan semua pengakuan dosa dan satunya diisi dengan catatan keinginan dan harapan masyarakat Kamoro. Amplop harapan mungkin akan ditaruh dimana begitu untuk diberkati sementara yang satu akan dibakar atau seperti apa nanti kita lihat,” kata Dominikus.
Selain itu, rekonsiliasi juga ditandai dengan pembanguan tugu “Salib” yang berada tepat di dermaga Kokonao, Distrik Mimika Barat. Tanda tersebut kata Dominikus untuk mengingatkan bahwa suku Kamoro telah melakukan bersih diri.
Dominikus pun berharap dengan adanya rekonsiliasi kedepan masa depan generasi muda dari Suku Kamoro bisa lebih baik dan cerah.
“Kita berharap tidak ada lagi beban dimasa lalu, sehingga anak-anak Kamoro bisa hidup lebih baik, mereka bisa sekolah dimana-mana, bisa duduk di legislatif, pemerintahan, bahkan di PT Freeport,” ucapnya.
Dominikus optimis pergantian nama dari “Kamoro” menjadi “Mimika Wee” dapat dilakukan, karena pihaknya telah menyiapkan segala keperluan administrasi, dan hukum yang diperlukan untuk bisa diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM.
Menurut sejarah kata Dominikus sejak zaman nenek moyang bahkan jauh pada saat Portugis pertama kali masuk ke Kabupaten Mimika, suku Kamoro disebut dengan “Mimika Wee”. “Mimika” sendiri jika di artikan dalam bahasa suku Kamoro “Mimi” berarti “Air” dan “Aika” yang berarti “Arus”.
“Pada zaman Portugis kita (Suku Kamoro) dipanggil dengan sebutan itu “Mimika” yang artinya “Arus air yang berasal dari gunung” itu yanng disampaikan orang tua-tua kepada Portugis, akhirnya mereka menyebut kami dengan sebutan itu. Namun orang Mimika ini bukan hanya di Kokonao, karena arus dari gunung ini turun mengaliri semua pesisir, sehingga semua masyarakat yang berada dan hidup dipesisir disebut orang Mimika,” terang lelaki yang wajahnya telah dihiasi oleh kerutan tersebut.
Seolah sedang mendongeng untuk cucunya, Dominikus kembali bercerita ciri khas masyarakat atau “Orang Mimika” asli bukanlah tinggal di hutan, melainkan berada di pinggiran sungai, sebab kebiasaan 3S (Sungai, Sampan dan Sagu) adalah gaya hidup sejak nenek moyang.
“Maka dari itu, orang dari Barat (Wilayah pesisir barat) hingga Timur (Pesisir bagian timur) disebut Suku Mimika,” jelasnya.
Menurut Dominikus nama “Kamoro” pertama kali didengar pada tahun 1996 disaat PT Freeport Indonesia mulai masuk ke Papua dan akan membagikan dana 1 persen, akhirnya nama suku Mimika pun berubah menjadi “Kamoro” mengikuti nama Yayasan yang dibentuk untuk menerima dana tersebut.
“Pada saat itu pendiri yayasannya bernama Jack Rahawarin, Yayasan itu diberi nama “Kamoro” pada saat itu. Saya termasuk pendiri bersama dengan Apol Takati dan Apol Mameyau,” kenangnya.
Dominikus melanjutkan pada saat pendirian Ia, Apol Takati dan Apol Mameyau menolak dengan keras perubahan nama tersebut, namun para tetua suku menyetujui sehingga nama tersebutlah yang dipakai hingga saat ini.
“Kami bersikeras ingin tetap dengan nama Mimika, tetapi orang tua-tua yang hadir disitu (musyawarah adat) dengan tegas ingin (nama Suku) dirubah mengikuti nama yayasan,” tegasnya.
Menurut kepercayaan suku Kamoro, di dunia ini terbagi menjadi dua yakni “Orang Hidup” yang disebut dengan “Kamoraiku” dan “Bee” yang berarti “Setan” dalam perseteruan keduannya, kata Dominikus menurut kepercayaan nenek moyang “Orang Hidup” berhasil mengalahkan “Setan”.
“Karena kepercayaan itulah tua-tua bilang biar sudah mereka panggil kita Kamoro yang artinya “Orang Hidup” tetapi itu menjadi beban, karena saat “Manusia” berhasil mengalahkan “Setan” itu, dia malah ganggu terus sampai sekarang, dan kami berfikir nama Kamoro ini beban, ada yang menganjal, maka dari itu kami ingin kembali berubah menjadi Mimika,” paparnya.
Sementara itu Wakil Bupati Mimika Johannes Rettob yang juga merupakan anak asli Kamoro mengatakan jika sebagai pemerintah dirinya memberikan dukungan penuh terhadap niat dari masyarakat Kamoro.
“Inti dari acara ini sebenarnya dari gereja atau Keuskupan Mimika yang disampaikan kepada masyarakat Kamoro dan pemudanya yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Kamoro (APK), jadi pemuda ini yang menjadi panitia dan SK nya langsung disetujui oleh Keuskupan, dan ini sudah diwacakan sejak lama,” terangnya.
Rekonsiliasi kata John sudah pernah dilaksanakan tetapi hanya diikuti oleh masyarakat Kampung Mimika, yang berada di Distrik Mimika Barat pada tahun 2021 lalu.
“Rekonsiliasi ini ada tiga hal penting di dalamnya, karena dalam hidup ini ada tiga pilar yakni Tuhan, Leluhur dan Pemerintah, sehingga rekonsiliasi ini dilaksanakan untuk ketiganya, jadi ini adalah refleksi diri, memohon pengampunan atas kesalahan, dan menyatakan apa yang diinginkan kedepan,” paparnya.
Menurut sejarah, pada tahun 1928, orang Mimika (Kamoro) kata John adalah seorang guru yang mengajar di seluruh wilayah pegunungan tengah, hingga akhirnya disetiap generasi lahir orang-orang hebat dari suku Kamoro.
“Ada yang jadi Kepala Dinas bahkan sebelum Kabupaten Mimika lahir, salah satunya adalah pak Octavianus Potereyauw yang menjadi Bupati pertama, nah kalau sekarang kenapa jadi begini? (tidak adanya generasi hebat seperti dahulu -red) padahal dahulu keadaan sulit, kini pemerintah dekat tetapi seperti ini, kenapa? nah itu mungkin salah satu contoh alasan dilakukannya rekonsiliasi,” terangnya.
John pun menegaskan dalam kegiatan yang akan dilaksanakan sama sekali tidak berhubungan dengan politik.
“Tidak ada politik disini, karena ada beberapa opini yang mengatakan seperti itu, ini merupakan murni keinginan dari masyarakat dan gereja,” tegasnya.
Senada dengan Dominikus, John mengatakan sejak nenek moyangnya pada 1928 tiba di pesisir Mimika, mereka menyebut Suku Kamoro dengan sebutan Suku Mimika.
“Kamoro ini kami tidak tahu, saya lahir tahun 1962, keluar dari Mimika tahun 77, kembali lagi tahun 84, setelah selesai sekolah, saya berangkat kembali ke Jakarta untuk bekerja, pada tahun 90’an saya kembali lagi karena bapak tutup usia, saya masih belum tahu Kamoro, pada tahun 2001 saya kembali lagi disitulah saya baru tahu namanya Kamoro,” katanya.
Dahulu kata John, Mimika terbagi menjadi beberapa kampung yang terpisahkan oleh sungai seperti Koperapoka, Negerpi, Wounaripi dan Nawaripi yang berasal dari satu rumpun, kemudian kampung Giripau, Kaugapu, Pigapu, Moware. Selanjutnya kampung Omoga, Inauga dan Ottakwa.
“(Yang di atas)itulah yang disebut Orang Mimika, dahulu saya tidak tahu Kamoro, tahunya Mimika Wee atau orang Mimika,” tutupnya.