Timika, antarpapuanews.com – Menyikapi pernyataan kuasa hukum Pemilik Hak Sulung (PHS) Tsinga Waa Banti Aroanop (Tsingwarop) terkait dua perda pernyataan modal yang ditetapkan DPRD Mimika beberapa waktu lalu.
Ketua DPRD Mimika Robby Kamaniel Omaleng, saat ditemui di jalan Hasanudin mengatakan, Pemerintah Indonesia telah mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia tahun 2019 lalu melalui Peraturan Pemerintah No.1/2017, Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang diamanatkan dalam UU No.4/2009, Tentang Mineral dan Batubara (sekarang direvisi menjadi UU No.3/2020).
Yang mana didalam amanat tersebut agar Freeport Indonesia mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan IUPK, peran Pemkab Mimika dan Pemprov Papua dalam proses divestasi saham menjadi sangat sentral, karena menjadi daerah penyangga dan rumah bagi operasi Freeport, karena rezim Kontrak Karya sama sekali tak memasukan Pemerintah Daerah.
Atas perintah PP itu, pemerintah pusat kemudian memerintahkan PT Indonesia Asahan Alumina (Sekarang berubah nama menjadi Mind Id) untuk mengambil alih 51 persen saham Freeport Indonesia, dari komposisi 51 persen saham itu, Pemprov Papua dan Pemkab Mimika mendapat kesempatan untuk mendapat 10 persen saham di Freeport melalui Mind Id.
Tentunya menjadi kesempatan sangat baik bagi Pemkab Mimika, karena dengan duduk dalam komposisi pemegang saham, hak-hak orang Papua atau pemilik hak ulayat dan terkena dampak permanen bisa terakomodir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Namun, sampai sekarang Pemkab Mimika dan Pemprov Papua sama sekali belum mengeksekusi pengambilan saham Freeport dari Mind ini, karena masih harus ada evaluasi dan diskusi antara Pemprov Papua dan Pemkab Mimika.
Sementara itu Mind Id selaku pemegang 51 persen saham Freeport Indonesia juga sampai sekarang masih harus menunggu kesepakatan Pemrov Papua dan Pemda Timika untuk menyerahkan 10 persen saham Freeport sebagai jatah daerah. Mind Id juga tidak bisa serta merta menyerahkan saham ke Pemprov Papua atau Pemkab Mimika tanpa ada Peraturan Daerah (Perda) yang bisa mengatur secara teknis operasional pengambil alihan saham Freeport.
“Kami selaku DPRD Mimika saat ini tengah menyusun Peraturan Daerah untuk pengambil alihan saham Freeport yang menjadi jatah pemda Mimika sebesar 7 persen dari 10 persen yang diserahkan ke Papua. Dalam Perda ini kami secara politik sangat terbuka terhadap siapapun yang memberikan masukan bersifat membangun agar Perda ini benar-benar menghasilkan Perda yang baik untuk proses divestasi saham Freeport ke Mimika” kata Robby melalui rilis tertulis, Minggu (25/10).
Untuk itu, menanggapi tuduhan Kuasa Hukum FPHS Tsingwarop, Haris Azhar yang beranggapan bahwa ada potensi korupsi dalam pembuatan Perda dan ada persekongkolan jahat dalam penyusunan Perda tak berdasar, selaku ketua DPRD Mimika menegaskan dua Perda yang sudah disahkan tidak berniat untuk memonopoli semuanya, justru Pemkab Mimika dan DPRD selalu terbuka untuk menerima masukkan.
“Kami pada intinya selalu terbuka terhadap masukan dari berbagai kalangan, baik praktisi hukum, pengacara, akademisi, LSM dan masyarakat luas untuk memperbaiki Perda ini lebih baik. Tak ada niat untuk korupsi dalam Perda ini. Sangatlah aneh juga tuduhan saudara Haris Azhar ini, karena eksekusi divestasi saham Freeport ke Mimika saja belum dilakukan. Lalu bagaimana mungkin kami seluruh DPRD Mimika melakukan korupsi. Kan belum ada divestasi. Sekarang sedang dalam proses evaluasi. Evaluasi bukan saja melibatkan kabupaten Mimika, tetapi juga pemerintah provinsi” tegasnya.
Selain itu, bagi kami posisi berdiri Haris Azhar tidaklah tepat untuk mewakili kelompok kepentingan orang-orang suku yang mengklaim diri memiliki hak sulung atas lahan Grasberg. Seharusnya Haris perlu berpikir apakah penyerahan 10 persen saham Freeport ke daerah hanya mau dibagi-bagi ke komunitas adat seperti itu? Itu justru keliru, karena Freeport Indonesia adalah perusahaan profesional di bidang tambang, pengolahan dan hak pemegang saham juga harus diatur secara profesional pula.
Tidak ada gunanya juga pemerintah daerah jika saham Freeport dibagi-bagi ke kelompok-kelompok masyarakat. Sikap Haris justru bentuk pembangkangan terhadap negara.
Pemerintah Daerah Mimika berperan mewakili institusi pemerintahan yang juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab mengolah saham Freeport secara professional. Untuk mengolah secara profesional tentu membutuhkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dana kelolah BUMD itu nanti akan digunakan untuk kepentingan meningkatkan standar hidup rakyat Mimika secara keseluruhan.
“Kami tentu tidak akan mengabaikan hak masyarakat adat dalam divestasi, tetapi itu harus diatur secara adil. Masyarakat adat justru menjadi prioritas utama dalam divestasi saham. Tetapi, masyarakat adat harus diatur dan yang mengatur itu adalah pemerintah daerah. Bukan lembaga yang dibentuk sendiri oleh masyarakat adat. Itu pemahaman yang sangat keliru. Saya boleh berbalik menduh saudara Haris sebenarnya sudah melakukan pembelaan dan advokasi keliru. Seharusnya Haris Azhar melihat secara utuh bagaimana proses divestasi ini nantinya,” ungkapnya.
Publik Mimika harus paham bahwa dalam proses pengambil alihan saham, pemerintah daerah Mimika diberi kewajiban untuk membayar hutang Mind Id membeli saham Freeport. Mind Id sudah menalangi bagian daerah, daerah kemudian harus membayar secara bertahap selama beberapa tahun hutang Mind Id.
Daerah tentu tidak akan menggunakan dana APBD atau pinjaman bank, tetapi membayar dengan mekanisme dividen. Jika ada keuntungan dari Freeport untuk daerah Timika Rp. 1 triliun misalnya, maka, Rp. 400 miliar akan digunakan untuk membayar hutang Mind Id selama 10-15 tahun dan Rp. 600 miliar menjadi bagian daerah yang tentu akan dibagi secara proposional dengan kelompok masyarakat adat dan membangun Mimika ke arah lebih baik. (Mrc)