FPHS Tsingwarop Ultimatum Freeport Soal Kompensasi 10%: “Kalau Tidak, Kami mengambil langkah-langkah sosial sesuai dengan adat istiadat kami, bahkan jalur hukum

Antar Papua
FPHS Tsingwarop Bersatu: Tuntut Kompensasi 10% dari Freeport, Tolak Isu CSR dan Saham – Fokus pada Hak Adat Sesuai SK Menteri KLHK (Foto: Redaksi)

Mimika, Antarpapua.com – Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) Tsingwarop melancarkan pernyataan keras kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) terkait tuntutan kompensasi sebesar 10% dari pendapatan bersih perusahaan setiap tahun mulai 2023 hingga 2041. FPHS menegaskan, isu yang dibahas hanya soal mekanisme kompensasi bagi masyarakat adat terdampak – bukan CSR, bukan pula saham divestasi.

“Kami tidak pernah bicara CSR, kami tidak pernah minta saham. Itu upaya mengalihkan isu. Yang kami minta jelas: kompensasi sesuai amanat dokumen AMDAL dan SK Menteri KLHK. Titik!” tegas FPHS dalam keterangan resmi, Jumat (8/8/2025).

FPHS mewakili tiga wilayah adat yang terdampak langsung operasi tambang Freeport – Tsinga, Waa/Banti, dan Arwanop. Hak ulayat mereka telah diakui negara melalui kajian akademik Universitas Cenderawasih, dukungan resmi Bupati Mimika, DPRD, DPRP, MRP, Gubernur Papua Tengah, hingga termuat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.605/MENLHK/SETJEN/PLA.4/6/2023.

Baca Juga |  Pertemuan Tertutup FPHS dan LMA Tsingwarop dengan PTFI di Timika: Sempat Tertunda, Kini Capai Titik Mufakat

Dokumen tersebut mewajibkan Freeport untuk menyusun mekanisme kompensasi dan berkoordinasi langsung dengan masyarakat terdampak. FPHS menilai, sikap menolak kompensasi sama saja dengan mengingkari perintah negara dan melanggar hak adat yang dilindungi undang-undang.

“Kompensasi ini adalah harga dari kerusakan lingkungan, hilangnya ruang hidup, dan terganggunya budaya kami akibat operasi tambang. Bukan uang belas kasihan, tapi hak yang wajib dibayar,” tegas FPHS.

Surat Freeport Dinilai Menyimpang dari Pokok Masalah
PTFI melalui surat bernomor 441/PTFI-CR/VIII/2025 menolak tuntutan kompensasi. Dalam suratnya, manajemen Freeport justru menonjolkan program CSR yang dijalankan bersama YPMAK, serta menyebut pembagian divestasi saham merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.

Bagi FPHS, jawaban ini menyesatkan publik. “CSR dan saham tidak ada di meja pembahasan kami. Itu bukan tuntutan kami. Freeport seolah ingin menggiring opini publik bahwa tuntutan kami adalah soal bantuan atau bagi-bagi saham, padahal yang kami minta adalah kompensasi sesuai aturan yang sah,” kata FPHS.

Baca Juga |  Kementerian Lingkungan Hidup Mendadak Batalkan Pertemuan Freeport, Ada Apa di Balik Kompensasi Ganti Rugi?

Ultimatum Jelang 15 Agustus
Pertemuan resmi antara FPHS dan Freeport dijadwalkan 15 Agustus 2025, difasilitasi Direktorat AMDAL KLHK. FPHS sudah mengultimatum, bila Freeport kembali mangkir atau menolak, mereka akan:

  • Menggugat ke Pengadilan Negeri atau PTUN;
  • Melapor ke KLHK dan Komnas HAM;
  • Mengambil langkah-langkah sosial dan kultural sesuai adat.

“Jangan menghindar. Datang dan bicarakan mekanisme kompensasi seperti yang diamanatkan negara. Jika tidak, kami akan lawan di semua lini,” tutup FPHS. (Redaksi)

Cek juga berita-berita Antarpapua.com di Google News